Di bulan Jumadil
Akhir dari tahun ke delapan Hijriyyah, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
mengirimkan para tokoh Sahabat ke Mu’tah, yakni sebuah perkampungan di negeri
Syam, untuk menuntut balas atas kematian orang muslim di sana. Beliau
mengangkat Zaid bin Al Haritsah, mantan budak beliau, sebagai pemimpin mereka.
Beliau bersabda: “Kalau Zaid gugur, digantikan oleh Ja’far bin Abi Thalib.
Kalau Ja’far gugur, digantikan oleh Abdullah bin Rawahah.” (Bukhari: 4261)
Mereka
keluar dengan membawa 3000 personil. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
ikut keluar untuk melepas kepergian mereka hingga pertengahan jalan. Mereka
terus jalan, dan ketika mereka sampai di Ma’aan, mereka mendengar berita bahwa
Hiraklius, raja Romawi sudah keluar untuk menyambut mereka dengan 100.000
personil, dan ditambah lagi dengan Malik bin Zafilah dengan membawa 100.000 personil lainnya dari kalangan Nashrani Arab, dari wilayah Lakhm, Judzaam, dan
berbagai suku Qudhaa’ah dari Bahraa, Balaa, dan Balqin.
Kaum
muslimin bermusyawarah. Sebagian menyatakan: “Kita menulis surat kepada
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan menunggu perintah beliau
selanjutnya, atau mengirimkan bantuan kepada kita.” Abdullah bin Rawahah RA
berkata: “Hai kaum! Demi Allah, apa yang selama ini kalian cari dengan
keluarnya kalian sudah ada di hadapan mata (mati syahid). Kalian memerangi manusia
bukan hanya dengan jumlah personil atau dengan kekuatan saja. Kita memerangi
mereka hanya dengan agama yang Allah telah memuliakan kita dengannya.
Berangkatlah, karena yang ada adalah salah satu dari dua kebaikan: Menang atau
mati syahid.” Ucapan beliau itu disetujui oleh kaum muslimin, sehingga
merekapun bangkit.
Saat mereka
sampai di Thukhum Al Balqaa, mereka bertemu dengan rombongan bala tentara
Romawi. Kaum muslimin turun ke bagian pinggir kampung Mu’tah, sementara tentara
Romawi di kampung Masyarif, baru kemudian mereka bertemu langsung dan
terjadilah pertempuran hebat.
Saat itu
terbunuhlah komandan pasukan kaum muslimin, Zain bin Haritsah RA. Panji perang yang berada di tangannya langsung
diambil oleh Ja’far. Ia turun dari kuda pirangnya yang langsung dibunuhnya, dan
ia pun berperang hingga tangan kanannya putus. Panji itu diambil oleh tangan
kirinya. Namun tangan kirinya pun putus, sehingga terpaksa ia memeluk panji
tersebut, baru kemudian ia terbunuh syahid. Kala itu ia berumur 33 tahun,
menurut pendapat yang benar (Bukhari: 4261). Panji perang itu diambil oleh
Abdullah bin Rawahah Al Anshari RA. Ia sempat menggerutu sedikit, akan tetapi
kemudian ia membulatkan tekad dan terus berperang hingga terbunuh. Ada riwayat
menyebutkan bahwa Tsabit bin Aqram yang kemudian mengambil alih panji perang
tersebut. Kaum muslimin ingin menjadikannya sebagai komandan, akan tetapi ia
menolak. Akhirnya panji itu diambil oleh Khalid bin Walid RA. Ia menggiring
kaum muslimin dan bergerak dengan halus sehingga kaum muslimin selamat dari
sergapan musuh, dan Allah pun memberikan kemenangan melalui tangan Khalid.
Sebagaimana
yang diceritakan sendiri oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada
para Sahabat beliau di Madinah saat beliau sedang berdiri di atas mimbar. Para
tokoh mendekati beliau satu persatu, sementara air mata beliau berlinang.
Hadits tersebut terdapat dalam AshShahihah (Bukhari: 4262).
Tibalah
waktu malam dan orang-orang kafir menghentikan peperangan.
Meskipun
jumlah musuh amat banyak dan jumlah kaum muslimin amat sedikit dibandingkan
dengan jumlah mereka, namun tidak terlalu banyak yang mati syahid di kalangan
kaum muslimin sebagaimana disebutkan oleh para ulama sejarah. Mereka tidak
menyebutkan nama-nama yang terbunuh, kecuali sekitar 10 orang saja.
Kaum muslimin segera beranjak pulang. Allah
memelihara mereka dari kejahatan musuh. Segala puji bagi Allah dan segala
karunia hanya daripadaNya. Hanya saja peperangan ini menjadi pendobrak dari
peperangan selanjutnya melawan Romawi dan menggentarkan para musuh Allah dan
RasulNya.
Oleh : Ibnu Katsir
bersambung in sya Allah .....
Sumber : Pustaka AtTibyan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar