Jumat, 27 November 2015

(27/48) Perang Hudaibiyyah | Sejarah Nabi Muhammad



Pada bulan Dzulqa’dah tahun keenam Hijriyyah, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam keluar untuk melaksanakan umrah bersama 1000 orang personil. Ada riwayat menyebutkan: 500, ada juga yang menyebutkan 400, 300 dan juga dalam jumlah yang berbeda. Adapun mereka yang menyebutkan beliau Shalallahu 'Alaihi wa Sallam keluar dengan membawa 700 orang, jelas keliru.


Saat kaum musyrikin mengetahui hal itu, mereka mengumpulkan kaum Habasy dan keluar dari Mekkah untuk menghalangi beliau melakukan umrah pada tahun tersebut. Mereka datang dengan dipimpin oleh kepala pasukan berkuda mereka, Khalid bin Al Walid menuju Al Ghamim.
Namun Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mencari jalan lain, sehingga sampai juga ke Al Hudaibiyah. Beliau dan kaum musyrikin saling mengirimkan utusan hingga datang Suhail bin Amru yang mengajak melakukan perdamaian dengan syarat mereka harus pulang untuk tahun ini, dan baru boleh melakukan umrah tahun berikutnya. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyetujui permintaan mereka, karena Allah memang hendak memberikan berkah dan kemaslahatan melalui perjanjian tersebut.

Hal itu tidak disukai oleh sebagian Sahabat, di antaranya Umar bin Khattab RA. Ia berkonsultasi dengan Abu Bakar AshShiddiq dalam persoalan itu. Lalu berkonsultasi kembali dengan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jawaban Rasulullah sama persis dengan jawaban Abu Bakar RA. Yakni beliau hanyalah hamba dan utusan Allah, tidak mungkin menentang perintah Allah, karena Allah yang akan memberi pertolongan. Imam Bukhari menukil kisah ini secara tuntas dalam sahahih nya (2731-2732).

Suhail bin Amru memberi keputusan agar mereka pulang pada tahun ini, dan baru boleh berumrah tahun depan. Mereka hanya boleh masuk Mekkah dari arah Julban AsSilaah (Bukhari: 2698, Muslim: 1783), juga tidak boleh tinggal di negeri Quraisy lebih dari tiga hari, lalu melakukan gencatan senjata selama 10 tahun.

Gencatan senjata itu sebenarnya menjadi sebab terbesar penaklukan bagi kaum muslimin, sebagaimana dinyatakan oleh Abdullah bin Mas’ud RA.

Siapa saja yang mau, bisa masuk perjanjian bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan siapa saja yang mau, juga bisa ikut bersama Quraisy. Khuza’ah termasuk di antara golongan yang ikut bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sementara Bani Bakar ikut bersama Quraisy.

Setiap orang dari mereka yang datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, walaupun muslim, harus dikembalikan kepada Quraisy. Sementara siapa saja muslim yang datang kepada Quraisy tidak perlu dipulangkan.

Allah membetulkan perjanjian itu, kecuali bagi kaum mukminah yang berhijrah, mereka tidak boleh dipulangkan kepada orang kafir, karena pada saat itu kaum wanita muslimah sudah tidak dihalalkan bagi orang kafir.

Ini termasuk persoalan unik yang termasuk dalam pondasi pemahaman Islam, yaitu ajaran sunnah bisa mengkhususkan ajaran umum dari Al Qur’an. Sebagian bahkan ada yang menganggapnya sebagai hukum baru yang memansukhkan hukum lama, seperti madzhab Abu Hanifah dan sebagian kalangan Ahli Uhsul. Namun itu bukanlah pendapat yang banyak dipilih oleh kalangan mutaakhirin. Perbedaan pendapat dalam hal itu amatlah mungkin sekali. Karena semuanya kembali kepada dialog dalam persoalan tekstual.

Sebelum terjadinya perdamaian ini, Ustman bin Affan diutus oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada masyarakat Mekkah untuk memberitahukan bahwa mereka datang bukan untuk berperang, namun untuk melaksanakan umrah. Karena kedudukan Ustman, kaum musyrikin Quraisy menawarkan Ustman untuk berthawaf. Namun Ustman menolak dan berkata: “Aku tidak akan thawaf sebelum Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.”

Belum lagi Ustman kembali, sudah tersebar kabar bahwa Ustman dibunuh. Tentu saja hal itu menyedihkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kemudian beliau memanggil para Sahabatnya untuk melakukan baiat perang. Merekapun berbaiat kepada beliau di bawah pohon di sana. Jumlah mereka yang berbaiat di bawah pohon tersebut adalah sama dengan jumlah mereka yang berangkat bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ke Al Hudaibiyah, kecuali Jidd bin Qais yang bersembunyi di balik untanya karena memiliki sifat munafik, kerendahan jiwanya. Juga Abu Sarihah Hudzaifah bin Usaid. Ia memang ikut dalam Hudaibiyyah, namun ada riwayat menyebutkan bahwa ia tidak sempat berbaiat. Sementara riwayat lain menyebutkan ia berbaiat.

Yang pertama kali berbaiat saat itu adalah Abu Sinaan, Wahab bin Mihshan, saudara dari Ukasyah bin Mihshan. Ada juga yang berpendapat bahwa orang yang pertama berbaiat adalah anaknya yakni Sinan bin Abi Sinaan.

Salamah bin Al Akwa’ pada hari itu berbaiat sebanyak tiga kali dengan perintah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam (Muslim: 1807)

Rasulullah dengan jiwanya yang penuh kemuliaan, meletakkan tangannya seraya berkata: “Ini untuk Ustman.” (Bukhari: 3698). Hal itu tentu saja lebih berharga daripada apabila Ustman langsung hadir dalam baiat tersebut. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firmannya dalam hal itu:

Sesunggunya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon.” (Al Fath: 18)

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Siapa saja yang ikut dalam bai’at di bawah pohon tersebut, tidak akan masuk Naar.” (Muslim: 2496)

Itulah baiat ArRidhwan.

Usai Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengambil kesepakatan dengan kaum musyrikin seperti telah kita paparkan sebelumnya, beliau langsung melakukan tahalul menyelesaikan umrahnya, dan beliau memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan hal yang sama. Mereka masih belum mengambil tindakan, sambil menunggu barangkali ada perubahan keputusan. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadi murka karena sikap mereka itu. Beliau masuk kemah menemui Ummu Salamah. Beliau menceritakan sikap mereka tersebut. Ummu Salamah menyarankan: “Keluarlah engkau, wahai Rasulullah! Sembelih hewanmu, lalu cukur rambutmu. Kaum muslimin pasti akan mengikutimu, wahai Rasulullah!” Maka Rasulullah keluar dan melakukan saran istrinya tersebut. Maka kaum muslimin segera melakukan hal yang sama dengan beliau (Bukhari: 2731, 2732). Mereka semua mencukur rambut, kecuali Ustman bin Affan dan Abu Qatadah Al Harits bin ArRib’i, mereka berdua hanya memendekkan rambut saja. Demikian disebutkan oleh AsSuhaili dalam ArRaudhul Anif.

Hampir saja mereka saling membunuh karena kesedihan yang mendalam, karena mereka memandang kaum musyrikin telah mengikat kaum muslimin dengan berbagai persyaratan sesuka mereka, dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menuruti saja kemauan mereka. Semua itu adalah karena keberanian mereka yang luar biasa, semoga Allah meridhai mereka, dan karena tekad mereka yang kuat untuk membela Islam. Akan tetapi Allah ‘Azza wa Jalla lebih mengetahui hakikat segala perkara dan hakikat kemaslahatan mereka.

Oleh sebab itu, saat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pulang ke Madinah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan surat Al Fath secara lengkap tentang persoalan tersebut.

Abdullah bin Mas’ud berkata: “Kalian beranggapan bahwa yang dimaksudkan dengan Fath adalah  Fathu Makkah. Padahal menurut kami adalah Fathul Hudaibiyyah (Bukhari: 4150)


Dan memang benar apa yang diucapkan oleh Ibnu Mas’ud . Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan perjanjian Hudaibiyyah sebagai sebab terjadinya Fathu Makkah, sebagaimana akan kami jelaskan nanti in sya Allah Ta’ala. Allah menggantikan apa yang seharusnya didapatkan dalam Hudaibiyyah dengan yang lebih baik, cepat atau lambat. Mereka sempat tinggal di Hudaibiyyah kira-kira 20 malam.

Oleh : Ibnu Katsir
bersambung in sya Allah .....


Sumber : Pustaka AtTibyan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar