Beliau
pernah datang ke negeri Syam sebanyak dua kali:
Pertama:
Bersama pamannya Abu Thalib untuk berniaga di sana. Saat itu usia beliau 12
tahun. Saat itulah terjadi perjumpaan dengan pendeta Bahira dan kabar gembira
yang disampaikan pendeta tersebut. Terdapat juga berbagai tanda kekuasaan Allah
yang mereka lihat, yang mencengangkan akal. Semua itu diceritakan secara
panjang lebar dalam hadits yang diriwayatkan oleh AtTirmidzi, termasuk riwayat
tunggal beliau dari Qurad Abu Nuh, namanya Abdurrahman bin Ghazwan.
Sanadnya
shahih akan tetapi matannya agak ganjil. Dalam kesempatan lain, penulis sempat
mengulasnya. Dalam hadits itu disebutkan kisah awan yang menaungi beliau. Namun
penulis tidak mendapatkan hadits shahih lain yang penulis ketahui yang
menyebutkan kisah itu.
Kedua: Saat
beliau berdagang untuk Khadijah binti Khuwalid, ditemani oleh Maisarah pelayan
Khadijah. Beliau sampai ke tanah Busra, lalu berdagang dan pulang kembali.
Maisarah mengabarkan kepada Khadijah berbagai tanda-tanda kenabian yang
dilihatnya pada diri beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka Khadijah
langsung menyukai Nabi dan menikah dengan beliau. Saat menikah dengan Khadijah,
seperti disebutkan oleh para Ahli Sejarah, umur beliau adalah 25 tahun.
Telah
dipaparkan sebelumnya bahwa pada suatu malam Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam diperjalankan dari masjid Al Haram ke masjid Al Aqsha. Beliau berkumpul
bersama para nabi, kemudian naik ke atas langit, kemudian, ke langit-langit di
atasnya satu per satu. Beliau sempat melihat para nabi di sana sesuai dengan
kedudukan mereka. Beliau memberi salam kepada mereka dan merekapun membalas
salam beliau. Baru kemudian beliau naik ke Sidratul Muntaha dan sempat melihat
Jibril dalam bentuk aslinya yang Allah ciptakan. Jibril memiliki 600 sayap.
Allah Al
Jabbar ‘Azza wa Jalla mendekat ke arah beliau sebagaimana yang Allah kehendaki,
seperti disebutkan dalam hadits. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
melihat tanda-tanda kekuasaan Rabb-nya yang terbesar, sebagaimana difirmankan
oleh Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya
dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya yang paling
besar..” (AnNajm: 18)
Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengajak beliau berbicara, menurut pendapat yang paling
mashyur di antara dua pendapat ulama Ahlul Hadits.
Dan beliau
juga melihat Allah ‘Azza wa Jalla dengan penglihatan matanya menurut sebagian
ulama, dan itu adalah pendapat yang dipilih oleh Al Imam Abu Bakar bin
Khuzaimah dari kalangan Ahli Hadits, dan diikuti oleh banyak para ulama
belakangan.
Diriwayatkan
oleh Muslim dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
melihat Allah dengan hatinya, sebanyak dua kali.
Aisyah Ummul
Mukminin bahkan mengingkari bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
melihat Rabbnya dengan kedua matanya.
Muslim
meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari Abu Dzarr bahwa ia pernah bertanya: “Wahai
Rasulullah! Apakah engkau pernah melihat Rabbmu?” Beliau Shalallahu ‘Alaihi
wa Sallam menjawab: “Seberkas cahaya. Bagaimana aku bisa melihat-Nya?”
Pendapat ini
termasuk yang menjadi kecenderungan banyak Imam dahulu dan sekarang,
berdasarkan hadits ini dan berdasarkan ucapan Aisyah di atas. Mereka
menegaskan: “Itulah pendapat yang masyhur dari Aisyah, dan tidak pernah
diketahui ada di antara para Sahabat yang menentang pendapat itu, kecuali yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
memang melihat Rabb-nya dengan hatinya. Dan itulah pendapat kami. Adapun
riwayat yang menyebutkan bahwa beliau melihat Rabbnya dengan mata kepala
sendiri, tidak ada yang shahih baik secara marfu’ maupun secara mauquf. Wallahu
A’lam.
Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pernah melihat Jannah dan Naar serta berbagai
tanda kekuasaan Allah yang besar. Pada saat itulah Allah mewajibkan kepada
beliau untuk melaksanakan shalat 50 waktu. Lalu kemudian diringankan menjadi
lima waktu. Beliau berbolak balik menemui Musa, kemudian menemui Rabbnya ‘Azza
wa Jalla dalm persoalan itu.
Kemudian
beliau diturunkan kembali ke bumi, yakni ke masjid Al Haram di Mekkah. Di pagi
harinya, beliau memberitakan kepada masyarakat tentang tanda-tanda kekuasaan
Allah yang beliau saksikan.
Adapun
hadits yang diriwayatkan oleh AnNasaa-i (449) pada awal kitab AshShalah adalah
sebagai berikut: Amru bin Hisyam telah mengabarkan kepada kami. Ia berkata:
Makhlad bin Yazid telah menceritakan sebuah riwayat kepada kami. Ia berkata:
dari Said bin Abdul Aziz diriwayatkan bahwa ia berkata: Yazid bin Abu Malik
menceritakan sebuah riwayat kepada kami, ia berkata: Anas bin Malik
menceritakan sebuah riwayat kepada kami, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam pernah bersabda:
“Aku
diberikan sebuah binatang tunggangan yang lebih besar dari keledai tapi lebih
kecil dari bighal. Langkahnya sangat panjang sekali. Akupun mengendarainya
bersama Jibril. Aku terus berjalan, sampai Jibril berkata kepadaku: “Turun dan
shalatlah.” Aku pun shalat. “Tahukah engkau di mana engkau shalat?” Tanya
Jibril: “Engkau shalat di Thaibah, di sanalah tempat hijrah lanjutannya. Turun
dan shalatlah.” Akupun shalat. “Tahukah engkau dimana engkau shalat?” Tanya
Jibril: “Engkau shalat di bukit Thursina. Disinilah Allah berbicara dengan
Musa.” Lanjutnya. Setelah berjalan lagi, Jibril berkata: “Turun dan Shalatlah.”
Akupun shalat “Tahukah engkau dimana engkau shalat?” Tanya Jibril: “Engkau
shalat di Baitlehm, tempat kelahiran Isa.” Lanjutnya. Kemudian aku masuk ke
Baitul Maqdis. Para nabi dikumpulkan bersamaku. Jibril menyuruhku maju sehingga
aku mengimami mereka. Baru kemudian Jibril mengajakku naik ke atas langit.” Seterusnya
beliau menceritakan lanjutan perjalanannya.
Hadits ini
gharib mungkar sekali. Sanadnya amat janggal. Hadits-hadits shahih lainnya
menunjukkan kemungkaran riwayat ini. Wallahu A’lam.
Demikian
juga dengan hadits yang diriwayatkan secara tunggal oleh Bakar bin Ziyad Al
Baahili Al Matruuk, dari Abdullah bin Al Mubarak, dari Said bin Abi Arubah,
dari Qatadah, dari Zuraarah bin Afwa, dari Abu Hurairah RA, dari Nabi bahwa
beliau menceritakan: “Pada malam Israa, Jibril berkata kepadaku: “Inilah
kuburan kakekmu Ibrahim. Turun dan shalatlah disini.” Riwayat ini juga tidak
sah, karena kondisi perawi Bakr bin Ziyaad tersebut.
Demikian
juga hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam awal Tarikh-nya dari hadits
Abu Nu’aim, Umar bin AshShubh, salah seorang pendusta besar yang dikenal
sebagai pemalsu hadits, dari Muqatil bin Hayyan, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas,
bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam saat melakukan Israa, pergi ke
negeri Ya’juuj dan Ma’juuj. Beliau mengajak mereka ke jalan agama Allah ‘Azza
wa Jalla, namun mereka menolaknya. Kemudian Jibril membawanya ke dua kota,
yakni Jablak, sebuah kota di wilayah timur, para penduduknya adalah sisa-sisa
kaum Aad, termasuk keturunan dari orang-orang yang beriman dari kaum Aad.
Kemudian ke
kota Gebrus, sebuah kota di wilayah barat. Para penduduknya adalah keturunan
kaum Tsamud yang beriman. Beliau mengajak kedua kaum tersebut kepada agama
Allah, dan merekapun beriman.
Dalam hadits
ini disebutkan bahwa masing-masing dari kedua kota tersebut memiliki 10.000
pintu. Jarak masing-masing pintu dengan yang lain adalah satu farsakh. Pada
masing-masing pintu setiap harinya dijaga oleh 10.000 orang lelaki. Kemudian
setelah itu tidak lagi dijaga sampai ditiupnya sangkakala. Demi Dzat yang jiwa
Muhammad berada di tangan-Nya: Kalau bukan karena terlalu banyak orang dan
terlalu berisik suara mereka, tentu manusia di seluruh dunia pasti akan
mendengar getar suara matahari saat terbit dan tenggelam. Di belakang mereka
ada 3 kaum lagi: Mansik, Taawil, dan Taaris.
Dalam
riwayat itu disebutkan bahwa beliau mendakwahi ketiga kaum tersebut, namun
mereka menolak dan kufur. Maka mereka berkumpul bersama Ya’juuj dan Ma’juuj.
Kemudian
disebutkan lagi sebuah hadits panjang yang tidak diragukan lagi oleh orang
berilmu dangkal sekalipun bahwa itu adalah riwayat palsu.
Penulis
sengaja mencantumkan riwayat itu dalam tulisan ini agar diketahui kondisinya dan
jangan ada yang terpedaya karenanya, karena itu termasuk konsekuensi dari
penulisan biografi ini. Termasuk bagian dari cerita tentang Isra dan Mi’raaj.
Wallahu A’lam.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Sebelumnya telah kami paparkan beberapa
peperangan beliau, pelaksanaan umrah dan haji beliau Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Semua itu termasuk bagian dari bab ini, sehingga tidak perlu disebutkan
ulang.
Oleh : Ibnu Katsir
bersambung in sya Allah .....
Sumber : Pustaka AtTibyan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar