Jumat, 04 Desember 2015

(32/48) Perang Hunain | Sejarah Nabi Muhammad


Saat berita penaklukan Mekkah sampai kepada penduduk Hawazin, Malik bin Auf An Nashri mengumpulkan para penduduknya. Berkumpullah Tsaqif dan kaumnya, Bani Nashar bin Muawiyyah, Bani Jusyam, Bani Saad bin Bakar dan sejumlah orang dari Bani Hilal bin Amir. Mereka membawa serta seluruh hewan ternak dan istri-istri mereka agar tidak ada yang melarikan diri.
Saat hal itu diketahui oleh Duraid bin AshShummah, pemimpin Bani Jusyam yang saat itu digotong dengan tandu karena ia sudah tua sementara pemikirannya diperlukan, ia menyalahkan Malik bin Auf An Nashri bahkan melecehkannya. Ia berkata: “Kalau engkau menang, tindakanmu ini tidak akan berguna. Kalau engkau kalah, orang yang kalah tidak akan membawa apa-apa.” Ia juga menganjurkan agar mereka jangan berperang kecuali di negeri mereka. Namun mereka menolak pendapatnya, dan mengikuti pendapat Malik bin Auf. Akhirnya Duraid berkata: “Ini adalah hari yang tidak akan kusaksikan, namun tidak akan pernah ku lupakan.”

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengutus Abdullah bin Abi Khadrad Al Islami untuk mencari berita tentang kaum Hawazin dan kemauan mereka. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu bersiap-siap menjumpai mereka. Beliau meminjam beberapa baju besi kepada Shafwan bin Umayyah. Ada riwayat menyebutkan jumlahnya 100. Tetapi ada juga yang menyebutkan 400. Beliau juga meminjam sejumlah uang kepadanya. Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar dengan membawa 10.000 personil, seperti yang beliau bawa pada Fathul Makkah, ditambah dengan 2.000 lagi dari mereka yang dibebaskan kemudian menjadi muslim saat penaklukan Mekkah. Shafwan ikut bersama mereka dalam perang Hunain, padahal ia masih musyrik. Itu terjadi di bulan Syawwal di tahun tersebut. Di Mekkah, beliau mewakilkan ‘Attab bin Usaid bin Abul Aish bin Umayyah bin Abdi Syams. Saat itu ia berumur 20 tahun.

Di tengah perjalanan, mereka melewati pohon yang selalu diagung-agungkan oleh kaum musyrikin yang disebut Dzaatu Anwaath. Sebagian kalangan Arab badui yang masih jahil berkata: “Buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath seperti yang mereka miliki.” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Demi Zat yang jiwaku berada di tanganNya, kalian mengucapkan apa yang pernah diucapkan oleh kaum Nabi Musa: “Buatkanlah untuk kami Tuhan seperti Tuhan-tuhan yang mereka miliki. Sungguh kalian pasti akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian…” (AtTirmidzi: 2180, Ahmad V : 218)


Kemudian Rasulullah berangkat hingga sampai di Hunain, yakni salah satu lembah yang cukup dalam di Tihamah. Di situlah kaum Hawazin bersembunyi menanti mereka. Terjadi di suatu pagi yang masih gelap. Mereka menyerang kaum muslimin secara serentak. Sehingga pasukan kaum muslimin kocar-kacir, tidak ada yang memperdulikan yang lainnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu ketika kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dan bercerai berai..” (AtTaubah: 25)

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan beberapa orang Sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Ali dan pamannya Abbas, juga kedua anak Abbas, Fadhal dan Qutsam, Abu Sufyan bin Al Harits bin Abdul Muthallib, serta anaknya Ja’far, dan beberapa muslim lain, kesemuanya tetap di tempat.

Pada hari itu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengendarai bighal yang dihadiahkan oleh Farwah bin Nufatsah Al Juddami, yakni yang biasa digunakan untuk menendang lawan. Abbas memegangi tali kekangnya, menahannya supaya tidak maju, sementara Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyenandungkan namanya terus menerus: “Aku adalah seorang nabi, tidak bohong. Aku adalah keturunan Abdul Muthallib.” (Bukhari: 2864, Muslim: 1776)

Kemudian beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam perintahkan Abbas yang dikenal keras suaranya untuk berteriak memanggil: “Hai orang-orang Anshar! Hai orang-orang yang berbaiat di bawah pohon! Hai orang-orang Samurah!” Saat kaum muslimin mendengar suara itu, dan saat itu mereka sedang melarikan diri, tiba-tiba mereka segera berbalik dan menjawab: “Kami sambut panggilanmu, kami sambut panggilanmu!” Bahkan ada di antara mereka yang karena tidak bisa membelokkan untanya karena saking banyaknya orang-orang yang mundur saat itu, terpaksa turun dari untanya, mengambil baju besinya dan mengenakannya, lalu mengambil pedang dan tamengnya, setelah itu berjalan kaki menuju Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sehingga terkumpul sejumlah 100 orang di sekitar beliau untuk menghadapi Hawazin. Mereka saling bersitegang dan akhirnya terlibat perang hebat. Allah menanamkan rasa takut ke dalam hati orang-orang Hawazin saat kaum muslimin kembali, sehingga kaum Hawazin tidak bisa menguasai diri. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri melempari mereka dengan segenggam kerikil. Tak seorangpun di antara mereka yang tidak kena lemparan tersebut (Muslim: 1775).

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“..Tidaklah engkau melempar melainkan Allah yang melempar...” (Al Anfal: 17)

Ditafsirkan demikian. Namun menurut penulis, itu masih perlu diteliti lagi. Karena ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan peristiwa perang Badar, seperti dipaparkan sebelumnya.
Kaum Hawazinpun melarikan diri dari kaum muslimin, lalu dikejar, dibunuh dan ditawan. Belum lagi Sahabat terakhir kembali ke sisi Rasulullah, para tawanan itu sudah ada di hadapan beliau. Rasulullah berhasil mendapatkan harta rampasan perang, berikut sanak keluarga mereka.

Beberapa kalangan Hawazin menggabungkan diri dengan Awthaas. Rasulullah langsung mengirimkan Abu Amir Al Asy’ari yakni Ubaid bersama kemenakannya Abu Musa Al Asy’ari, pembawa panji kaum muslimin dalam barisan mereka. Kaum muslimin berhasil membunuh banyak di antara mereka, namun komandan kaum muslimin sendiri, Abu Amir, terbunuh syahid. Ada seorang lelaki memanahnya dan mengenai lututnya, sehingga mati seketika. Pembunuhnya itu berhasil pula dibunuh oleh Abu Musa Al Asy’ari. Namun ada riwayat menyebutkan bahwa si pembunuh akhirnya masuk Islam. Ia adalah salah satu dari 10 bersaudara, dimana Sembilan saudaranya terbunuh oleh Abu Amir sebelumnya. Wallahu A’lam.
Saat Abu Musa mengabarkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau memohonkan ampunan untuk Abu Amir (Bukahir: 4323, Muslim: 2498)

Abu Amir sendiri adalah orang pertama dari empat orang yang terbunuh syahid pada perang Hunain. Yang kedua adalah Ayman bin Ummi. Ketiga, Yazid bin Zam’ah bin Al Aswad. Keempat, Suraqah bin Al Harits bin Adi bin Bani Al Ajlan, dari Al Anshar. Semoga Allah meridhai mereka semua.

Adapun dari kalangan musyrik, banyak sekali yang terbunuh.

Pada perang ini, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang membunuh musuh dalam perang, maka ia berhak memiliki rampasannya.” (Bukhari: 4231, Muslim: 1751) Dalam kisah Abu Qatadah RA.

Oleh : Ibnu Katsir
bersambung in sya Allah .....


Sumber : Pustaka AtTibyan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar