Di sini
disebutkan ringkasan dari peristiwa Hijjatul Wadaa’ dan tata caranya dengan
pertolongan Allah, karunia dan taufiq serta hidayah-Nya. Dengan taufiq dari
Allah, kami paparkan sebagai berikut:
Rasulullah
Shalallau ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat Zuhur pada hari Kamis, enam hari
sebelum berakhir bulan Dzulqa’dah pada tahun kesepuluh Hijriyyah di Madinah,
kemudian keluar dari kota tersebut bersama kaum muslimin yang ikut bersama
beliau dari kalangan penduduk Madinah dan kaum badui yang berhasil beliau
kumpulkan. Mereka melakukan shalat Ashar di Dhul Hulaifah, dan menginap di
sana.
Datanglah
malaikat Jibril sebagai utusan Allah ‘Azza wa Jalla menemui beliau Shalallau
‘Alaihi wa Sallam di tempat tersebut, yakni di lembah Al Aqiq, menurunkan
perintah dari Allah agar dalam hajinya, beliau mengatakan: “Kami berniat
Haji dan Umrah.” (Bukhari: 1534)
Artinya,
Allah memerintahkan beliau Shalallau ‘Alaihi wa Sallam untuk melaksanakan haji
secara qiraan, yakni menggabungkan haji dengan umrah. Pagi harinya, Rasulullah
Shalallau ‘Alaihi wa Sallam memberitahukan hal itu kepada kaum muslimin.
Pada hari
itu beliau menggilir seluruh istrinya (Bukhari: 270, Muslim: 1192) dengan satu
kali mandi. Jumlah seluruh istri beliau ada Sembilan. Ada riwayat menyebutkan
11. Kemudian beliau mandi dan shalat di masjid 2 rakaat, baru berihram untuk
haji dan umrah secara bersamaan. Itulah cara haji yang secara lafazh dan
maknanya diriwayatkan oleh 16 orang Sahabat, di antaranya adalah pelayan
Rasulullah, Anas bin Malik. Lalu diriwayatkan berikutnya oleh 16 orang Tabi’i. dan
itu riwayat yang tegas, tidak bisa ditakwilkan, kecuali takwil yang jauh dari
pengertian zhahirnya.
Sementara
berbagai riwayat hadits lain yang mengesankan bahwa ketika itu beliau melakukan
haji tamattu’ atau bahkan ada indikasi ifrad, maka bukan di sini
tempat untuk menyebutkannya.
Melakukan
haji qiran itu lebih afdhal menurut kalangan Hanafiyyah, juga menurut satu
riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, serta pendapat dari Imam Abdu Abdillah
AsySyafi’i. pendapat ini juga didukung oleh banyak kalangan ahli tahqiq
para Sahabat. Dan memang demikianlah konsekuensi dari kolerasi berbagai hadits
yang ada seluruhnya. Bahkan ada di antara ulama yang menganggapnya wajib.
Wallahu A’lam.
Rasulullah
Shalallau ‘Alaihi wa Sallam membawa hewan sembelihan dari Dzul Hulaifah dan
memerintahkan siapa saja yang membawa hewan sembelihan untuk langsung berihram
sebagaimana yang beliau Shalallau ‘Alaihi wa Sallam lakukan.
Beliau
Shalallau ‘Alaihi wa Sallam berjalan dengan diiringi oleh kaum muslimin.
Sebagian mereka berjalan di depan, di belakang, di sebelah kiri, dan sebelah
kanan beliau. Semuanya datang untuk ikut haji bersama beliau Shalallau ‘Alaihi
wa Sallam.
Saat Nabi
sampai di Mekkah, beliau melakukan thawaf quduum, baru melakukan sa’i antara
Shafa dan Marwa. Dan memerintahkan mereka yang belum membawa sembelihan untuk
membatalkan niat hajinya dan menggantinya dengan umrah, melakukan tahallul
sempurna, baru kemudian berihram untuk haji saat mereka keluar dari Mina.
Beliau
bersabda: “Kalau seandainya aku bisa mengulangi kembali masa yang telah
lampau, tentu aku tidak akan membawa hewan sembelihan dan kujadikan manasik ini
sebagai umrah.” (Muslim: 1218, Abu Dawud: 1905)
Riwayat ini
menunjukkan bahwa beliau tidak melakukan haji tamattu’. Tidak
sebagaimana yang dipahami oleh para sahabat, Imam Ahmad, dan sebagian ulama
lain.
Ali datang
dari Yaman. Rasulullah Shalallau ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepada Ali: “Dengan
cara apa kamu berihram?” Ali menjawab: “Dengan cara yang dilakukan oleh
Rasulullah.” Maka Nabi bersabda kepadanya: “Aku membawa hewan sembelihan dan
melakukan haji qiran.” Lafal ini diriwayatkan oleh Abu Dawud: 1797, dan
para Imam Ahli Hadits lainnya dengan sanad yang shahih.
Dan itu
adalah pendapat tegas pelaksanaan haji qiran. Ali membawa banyak sembelihan
dari Yaman, dan Nabi menggabungkannya dengan hewannya. Jumlah seluruhnya
menjadi seratus ekor badanah (unta atau kambing. Namun arti di sini
adalah kambing).
Kemudian
beliau keluar ke Mina dan menginap di sana. Saat itu adalah malam Jum’at
kesembilan dari Dzulhijjah.
Di pagi
harinya, beliau pergi ke Arafah dan menyampaikan khutbah yang agung di Namirah
yang disaksikan oleh 40.000 orang Sahabat beliau. Semoga Allah meridhai mereka
semua. Beliau menjamak shalat Ashar dengan shalat Zuhur, baru melakukan wuquf
di Arafah.
Kemudian
beliau menginap di Muzdalifah dan menjamak shalat Maghrib dengan Isya pada
malam tersebut. Di pagi harinya, beliau melakukan shalat Shubuh pada awal waktu.
Kemudian
beliau pergi sebelum matahari terbit menuju Mina, lalu melakukan pelemparan
Jamrah Al Aqabah, menyembelih dan mencukur habis rambut kepalanya, baru
kemudian melakukan thawaf ifaadhah sebagai thawaf wajib, yakni thawaf ziyarah.
Namun ada perbedaan pendapat, dimana beliau melakukan shalat Zuhur? Hal itu
terasa rumit bagi banyak kalangan hafizh (Muslim: 1218). Baru kemudian beliau
melakukan tahallul penuh dari segala yang diharamkan bagi orang yang berihram.
Beliau melakukan khutbah yang kedua di hari AnNahr (Idul Adha), juga
khutbah yang agung, memberikan nasihat, memberikan peringatan, sekaligus
meminta mereka menjadi saksi bahwa beliau telah menyampaikan risalah
kenabiannya.
Kita juga
menjadi saksi bahwa beliau betul-betul sudah menyampaikan risalah, menunaikan
amanah serta memberikan nasihat kepada umat. Shalawat dan salam semoga
terlimpahkan kepada beliau selama-lamanya hingga Hari Kiamat.
Kemudian Rasulullah Shalallau ‘Alaihi wa Sallam
bersiap kembali ke Madinah dan Allah pun menyempurnakan agamaNya.
Oleh : Ibnu Katsir
bersambung in sya Allah .....
Sumber : Pustaka AtTibyan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar