Rabu, 09 Desember 2015

(36/48) Hijjatul Wadaa' | Sejarah Nabi Muhammad


Di sini disebutkan ringkasan dari peristiwa Hijjatul Wadaa’ dan tata caranya dengan pertolongan Allah, karunia dan taufiq serta hidayah-Nya. Dengan taufiq dari Allah, kami paparkan sebagai berikut:


Rasulullah Shalallau ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat Zuhur pada hari Kamis, enam hari sebelum berakhir bulan Dzulqa’dah pada tahun kesepuluh Hijriyyah di Madinah, kemudian keluar dari kota tersebut bersama kaum muslimin yang ikut bersama beliau dari kalangan penduduk Madinah dan kaum badui yang berhasil beliau kumpulkan. Mereka melakukan shalat Ashar di Dhul Hulaifah, dan menginap di sana.

Datanglah malaikat Jibril sebagai utusan Allah ‘Azza wa Jalla menemui beliau Shalallau ‘Alaihi wa Sallam di tempat tersebut, yakni di lembah Al Aqiq, menurunkan perintah dari Allah agar dalam hajinya, beliau mengatakan: “Kami berniat Haji dan Umrah.” (Bukhari: 1534)

Artinya, Allah memerintahkan beliau Shalallau ‘Alaihi wa Sallam untuk melaksanakan haji secara qiraan, yakni menggabungkan haji dengan umrah. Pagi harinya, Rasulullah Shalallau ‘Alaihi wa Sallam memberitahukan hal itu kepada kaum muslimin.

Pada hari itu beliau menggilir seluruh istrinya (Bukhari: 270, Muslim: 1192) dengan satu kali mandi. Jumlah seluruh istri beliau ada Sembilan. Ada riwayat menyebutkan 11. Kemudian beliau mandi dan shalat di masjid 2 rakaat, baru berihram untuk haji dan umrah secara bersamaan. Itulah cara haji yang secara lafazh dan maknanya diriwayatkan oleh 16 orang Sahabat, di antaranya adalah pelayan Rasulullah, Anas bin Malik. Lalu diriwayatkan berikutnya oleh 16 orang Tabi’i. dan itu riwayat yang tegas, tidak bisa ditakwilkan, kecuali takwil yang jauh dari pengertian zhahirnya.

Sementara berbagai riwayat hadits lain yang mengesankan bahwa ketika itu beliau melakukan haji tamattu’ atau bahkan ada indikasi ifrad, maka bukan di sini tempat untuk menyebutkannya.

Melakukan haji qiran itu lebih afdhal menurut kalangan Hanafiyyah, juga menurut satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, serta pendapat dari Imam Abdu Abdillah AsySyafi’i. pendapat ini juga didukung oleh banyak kalangan ahli tahqiq para Sahabat. Dan memang demikianlah konsekuensi dari kolerasi berbagai hadits yang ada seluruhnya. Bahkan ada di antara ulama yang menganggapnya wajib. Wallahu A’lam.

Rasulullah Shalallau ‘Alaihi wa Sallam membawa hewan sembelihan dari Dzul Hulaifah dan memerintahkan siapa saja yang membawa hewan sembelihan untuk langsung berihram sebagaimana yang beliau Shalallau ‘Alaihi wa Sallam lakukan.

Beliau Shalallau ‘Alaihi wa Sallam berjalan dengan diiringi oleh kaum muslimin. Sebagian mereka berjalan di depan, di belakang, di sebelah kiri, dan sebelah kanan beliau. Semuanya datang untuk ikut haji bersama beliau Shalallau ‘Alaihi wa Sallam.

Saat Nabi sampai di Mekkah, beliau melakukan thawaf quduum, baru melakukan sa’i antara Shafa dan Marwa. Dan memerintahkan mereka yang belum membawa sembelihan untuk membatalkan niat hajinya dan menggantinya dengan umrah, melakukan tahallul sempurna, baru kemudian berihram untuk haji saat mereka keluar dari Mina.

Beliau bersabda: “Kalau seandainya aku bisa mengulangi kembali masa yang telah lampau, tentu aku tidak akan membawa hewan sembelihan dan kujadikan manasik ini sebagai umrah.” (Muslim: 1218, Abu Dawud: 1905)

Riwayat ini menunjukkan bahwa beliau tidak melakukan haji tamattu’. Tidak sebagaimana yang dipahami oleh para sahabat, Imam Ahmad, dan sebagian ulama lain.

Ali datang dari Yaman. Rasulullah Shalallau ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepada Ali: “Dengan cara apa kamu berihram?” Ali menjawab: “Dengan cara yang dilakukan oleh Rasulullah.” Maka Nabi bersabda kepadanya: “Aku membawa hewan sembelihan dan melakukan haji qiran.” Lafal ini diriwayatkan oleh Abu Dawud: 1797, dan para Imam Ahli Hadits lainnya dengan sanad yang shahih.

Dan itu adalah pendapat tegas pelaksanaan haji qiran. Ali membawa banyak sembelihan dari Yaman, dan Nabi menggabungkannya dengan hewannya. Jumlah seluruhnya menjadi seratus ekor badanah (unta atau kambing. Namun arti di sini adalah kambing).

Kemudian beliau keluar ke Mina dan menginap di sana. Saat itu adalah malam Jum’at kesembilan dari Dzulhijjah.

Di pagi harinya, beliau pergi ke Arafah dan menyampaikan khutbah yang agung di Namirah yang disaksikan oleh 40.000 orang Sahabat beliau. Semoga Allah meridhai mereka semua. Beliau menjamak shalat Ashar dengan shalat Zuhur, baru melakukan wuquf di Arafah.

Kemudian beliau menginap di Muzdalifah dan menjamak shalat Maghrib dengan Isya pada malam tersebut. Di pagi harinya, beliau melakukan shalat Shubuh pada awal waktu.

Kemudian beliau pergi sebelum matahari terbit menuju Mina, lalu melakukan pelemparan Jamrah Al Aqabah, menyembelih dan mencukur habis rambut kepalanya, baru kemudian melakukan thawaf ifaadhah sebagai thawaf wajib, yakni thawaf ziyarah. Namun ada perbedaan pendapat, dimana beliau melakukan shalat Zuhur? Hal itu terasa rumit bagi banyak kalangan hafizh (Muslim: 1218). Baru kemudian beliau melakukan tahallul penuh dari segala yang diharamkan bagi orang yang berihram. Beliau melakukan khutbah yang kedua di hari AnNahr (Idul Adha), juga khutbah yang agung, memberikan nasihat, memberikan peringatan, sekaligus meminta mereka menjadi saksi bahwa beliau telah menyampaikan risalah kenabiannya.

Kita juga menjadi saksi bahwa beliau betul-betul sudah menyampaikan risalah, menunaikan amanah serta memberikan nasihat kepada umat. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada beliau selama-lamanya hingga Hari Kiamat.


Kemudian Rasulullah Shalallau ‘Alaihi wa Sallam bersiap kembali ke Madinah dan Allah pun menyempurnakan agamaNya.

Oleh : Ibnu Katsir
bersambung in sya Allah .....


Sumber : Pustaka AtTibyan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar