Kamis, 19 November 2015

(23/48) Perang Khandaq | Sejarah Nabi Muhammad



Di perang inilah para hamba yang beriman mendapatkan cobaan dan mengalami kegoncangan. Allah ingin meneguhkan iman yang ada di hati para waliNya dan menampakkan kemunafikan yang selama ini tersembunyi, membongkarnya dihadapan mereka, juga untuk menegur mereka. Kemudian Allah menurunkan kemenanganNya, menolong hambaNya, dan menghancurkan gerombolan musuh, untuk kemudian memuliakan bala tentaraNya serta mengusir orang-orang kafir dengan kemurkaanNya, menjaga kaum muslimin dari kejahatan kaum kafir, dan semua itu dari keutamaan dan karuniaNya.


Allah telah mengharamkan atas mereka baik secara syar’i maupun berdasarkan takdirNya untuk memerangi kaum mukminin sesudah perang tersebut (Bukhari: 4110). Bahkan merekalah yang menjadi pecundang. Allah akan menjadikan bala tentaraNya sebagai pemenang. Segala puji bagi Allah, Rabb sekalian makhluk.

Itu terjadi pada tahun kelima Hijriyyah, di bulan Syawwal menurut pendapat yang benar dari dua pendapat yang ada di kalangan Ahli Sejarah.

Dalilnya adalah tidak ada perbedaan pendapat bahwa perang Uhud terjadi pada bulan Syawwal di tahun ketiga. Sebelumnya telah dipaparkan pendapat para ulama sejarah bahwa Abu Sufyan telah menantang mereka untuk bertemu kembali di Badar pada tahun berikutnya. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah keluar untuk menemui mereka, namun mereka ingkar janji, karena adanya paceklik pada tahun tersebut di negeri mereka, sehingga tertunda hingga tahun berikutnya.

Abu Muhammad bin Hazm Al Andalusi menyebutkan dalam Al Maghazi: “Demikianlah pendapat ahli sejarah.” Beliau melanjutkan: “Yang benar dan tidak diragukan lagi adalah bahwa peristiwa itu terjadi pada tahun keempat Hijriyyah. Itu adalah pendapat Musa bin Uqbah.” Kemudian Ibnu Hazm beralasan dengan hadits Ibnu Umar: “Aku menawarkan diri untuk berperang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pada perang Uhud, saat itu aku berumur 14 tahun, sehingga beliau tidak memperbolehkan aku ikut perang. Lalu aku menawarkan diri lagi untuk ikut perang Khandaq, saat itu aku sudah berumur 15 tahun, dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengizinkanku (Bukhari: 2664, Muslim: 1868). Sehingga terbukti bahwa antara kedua perang tersebut hanya ada jangka waktu setahun saja.

Penulis menegaskan: Hadits ini dikeluarkan dalam Shahih Bukhari & Muslim. Namun tidak mengindikasikan apa yang menjadi pendapatnya. Karena masalah izin mengikuti perang menurut beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam disyaratkan telah berumur 15 tahun. Yang belum mencapai usia tersebut, tidak diperbolehkan. Adapun yang sudah mencapai usia tersebut, diperbolehkan ikut perang. Karena pada saat perang Uhud usia Ibnu Umar belum mencapai 15 tahun, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak memperbolehkannya. Sedangkan pada perang Khandaq, usianya sudah cukup, maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memperbolehkannya. Namun itu tidak menafikan bahwa usianya kala itu sudah lebih satu, dua atau tiga tahun, bahkan lebih dari itu. Jadi artinya, seolah-olah ia berkata: “Pada perang Khandaq, aku menawarkan diri, dan saat itu aku sudah baligh, atau sudah layak ikut berperang.

Ada riwayat yang menyebutkan bahwa pada perang Uhud ia memang baru menginjak usia keempat belas. Sementara pada perang Khandaq, ia sudah di penghujung usia 15 tahun. Namun pendapat itu masih perlu diselidiki lagi. Pendapat pertama lebih kuat secara ilmiah bagi orang yang mau menelaah dan bersikap bijak. Wallahu A’lam.

Penyebab perang Al Khandaq adalah bahwa sekelompok orang Yahudi dari kalangan Bani Nadhir yang sudah diusir oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Madinah ke Khaibar, seperti dipaparkan sebelumnya, yakni kalangan pembesar mereka seperti Salam bin Abi Al Huqaiq, Salaam bin Misykam serta Kinanah bin Rabi’ dan yang lainnya, keluar menemui kaum Quraisy di Mekkah dan mengajak mereka berperang melawan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka menjanjikan kemenangan. Akhirnya permintaan itu disetujui oleh kaum Quraisy. Merekapun pergi ke Ghathafan dan mengajak penduduknya untuk bergabung. Kaum Ghathafan pun menyetujuinya. Keluarlah Quraisy dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb, sementara Ghathafan dibawah pimpinan Uyainah bin Hishn. Semuanya berjumlah 10.000 personil.


Saat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mendengar berita keberangkatan mereka, beliau segera memerintahkan kaum muslimin menggali parit untuk menghalangi kaum musyrikin menuju Madinah. Hal itu beliau lakukan berdasarkan usulan Salman Al Farisi . Kaum muslimin segera membuat parit tersebut agar tidak didahului oleh kedatangan kaum Quraisy untuk menyerang mereka. Dalam proses penggalian parit tersebut banyak ayat-ayat mufashshalah yang terlalu panjang bila dijelaskan disini, serta berbagai riwayat Nabi yang mutawatir. Saat parit sudah selesai dikerjakan, kaum musyrikin pun datang. Mereka singgah di pinggiran kota Madinah, sebagaimana dalam firman Allah  :

øŒÎ) Nä.râä!$y_ `ÏiB öNä3Ï%öqsù ô`ÏBur Ÿ@xÿór& öNä3ZÏB ÇÊÉÈ  

(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu..” (Al Ahzab: 10)

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar membentengi diri dengan parit bersama 3000 personil kaum muslimin, menurut riwayat yang benar, dari kalangan penduduk Madinah.

Ibnu Ishaq berkeyakinan bahwa jumlah kaum muslimin kala itu 700. Itu kekeliruan, teropini oleh perang Uhud. Wallahu a’lam. Mereka membelakangi Sal’, dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kaum wanita dan anak-anak untuk diungsikan ke tengah kota Madinah, dan menugaskan Ibnu Ummi Maktum untuk memimpin kota tersebut.

Huyayy bin Akhtab AnNadhri segera pergi ke kalangan Bani Quraizhah dan berkumpul dengan Ka’ab bin Asad, ketua mereka. Ia tetap di situ, hingga akhirnya Ka’ab bin Asad mengingkari perjanjian antara dirinya dengan Rasulullah. Ka’ab ikut bersekongkol dengan kaum musyrikin untuk memerangi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tentu saja kaum musyrikin senang menerimanya.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengirimkan Saad bin Muadz dan Saad bin Ubadah, Khawwat bin Jubair dan Abdullah bin Rawahah untuk menyelidiki apakah Bani Quraizhah mengingkari perjanjian atau tidak. Saat mereka mendekati kaum Yahudi tersebut, ternyata mereka sudah terang-terangan memusuhi dan mengingkari perjanjian. Mereka saling mencaci. Kaum Yahudi itu bahkan berani menghina Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, sehingga Saad balas mencaci mereka. Merekapun pulang.

Rasululullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memerintahkan, apabila mereka benar-benar mengingkari perjanjian, janganlah hal itu diberitahukan dalam barisan kaum muslimin, karena bisa menimbulkan sikap lemah, namun hendaklah diberikan isyarat kepada mereka. Saat mereka datang, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya: “Apa yang kamu lihat di sana?” Mereka menjawab: “Suku Adhal dan Qaarah yang telah menghianati delegasi ArRaji’.” Hal itu tentu saja menghenyakkan kaum muslimin sehingga mereka semakin gelisah dan bertambah susah. Kondisi mereka sebagaimana difirmankan oleh Allah  :

y7Ï9$uZèd uÍ?çGö/$# šcqãZÏB÷sßJø9$# (#qä9Ìø9ãur Zw#tø9Î #YƒÏx© ÇÊÊÈ  

Disitulah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat.” (Al Ahzab: 11)

Kemunafikan semakin menajam dan semakin banyak jumlahnya. Bahkan sebagian kalangan Bani Haritsah meminta ijin kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk kembali ke rumah. Mereka beralasan: “Rumah-rumah tersebut terbuka, tidak ada penghalang bagi para musuh untuk mendatanginya.” Bani Salamah juga berniat menggagalkan perang. Akan tetapi Allah meneguhkan kedua golongan tersebut.

ilustrasi

Kaum musyrikin masih terus mengepung Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam selama sebulan, namun tidak juga terjadi pertempuran di antara mereka, karena Allah selalu menghalangi mereka dengan adanya parit tersebut.

Hanya saja ada beberapa jagoan berkuda dari kalangan Quraisy, yakni Amru bin Abdu, Wadd Al Amiri dan beberapa orang yang lain, berhasil menerobos ke dalam parit. Saat berada di depan parit tersebut, mereka berkata: “Tipu daya semacam ini belum pernah dikenal oleh bangsa Arab.” Lalu mereka berusaha mencari-cari celah yang agak sempit dari Khandaq (parit) tersebut dan menerobos masuk serta melewatinya. Karena mengendarai kuda, mereka terjebak di antara parit (khandaq) dengan Sal’. Merekapun menantang untuk perang tanding (1 by 1). Tantangan Amru bin Abdu Wadd dilayani oleh Ali bin Abi Thalib dan merekapun bertanding. Dengan ijin Allah, Ali berhasil membunuhnya. Padahal di masa Jahiliyyah, tak ada yang mampu menandingi keberanian Amru. Namun ia sudah tua, dan kala itu ia sudah berumur lebih dari 100 tahun.

Adapun sisanya, langsung beranjak kembali kepada kaum mereka. Itulah saat pertama kali Allah membongkar kehinaan mereka.

Syiar kaum muslimin pada peperangan itu adalah Haamiim, mereka tidak akan menang. (Abu Dawud: 2597, AnNasaa-i: VI: 361, AtTirmidzi: 1682)

Setelah beberapa lama kondisi seperti itu dialami kaum muslimin, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ingin mengajak berdamai Uyainah bin Hishn dan Al Harits bin Auf, 2 orang pemimpin Ghathafan dengan bayaran sepertiga buah-buahan di kota Madinah,, agar mereka pergi membawa kaum mereka. Maka diadakanlah musyawarah tentang persoalan itu, dan belum terjadi kesepakatan, hingga akhirnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta saran dari 2 orang Sahabatnya yang sama-sama bernama Saad, untuk menyelesaikan persoalan itu. Mereka berdua berkata: “Wahai Rasulullah ! Kalau Allah memang memerintahkanmu untuk berdamai dengan mereka, kami hanya bisa mendengar dan mentaatinya. Namun kalau itu hanya inisiatif pribadimu saja, ketahuilah, bahwa kami pernah bersama kaum tersebut dalam kemusyrikan dan penyembahan berhala. Mereka tidak pernah memakan atau mengkonsumsi buah-buahan kami kecuali dengan cara jual beli. Saat Allah memberikan kemuliaan kepada kami dengan Islam, memberikan petunjuk kepada kami sehingga kami memeluk Islam. Allah juga memberikan kemuliaan kepada kami dengan kehadiranmu. Apakah kemudian kami memberikan harta kami kepada mereka? Demi Allah, kami hanya ingin memberikan ‘pedang’ kepada mereka.” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Usul itu hanyalah inisiatif pribadiku saja.” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam membenarkan pendapat mereka dalam hal itu. Akhirnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak melakukan tindakan apapun.

Namun Alhamdulillah, Allah  menciptakan peristiwa yang menunjukkan kehinaan mereka serta merontokkan persekongkolan mereka. Kejadiannya, bahwa Nuaim bin Mas’ud bin Amir Al Ghathafani  datang menemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ia berkata: “Wahai Rasulullah ! Saya telah masuk Islam, perintahkanlah kepadaku apa yang engkau mau.” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Engkau hanya satu orang saja. Silahkan perdayakan musuh untuk kepentingan kami sebisamu. Karena perang adalah tipu daya.” (Bukhari: 3029, Muslim: 1740).

Saat itu juga ia pergi ke Bani Quraizhah. Di masa jahiliyyah, ia adalah teman akrab Bani Quraizhah. Ia menemui mereka, sementara mereka belum mengetahui keislamannya. Ia berkata: “Hai Bani Quraizhah! Kalian telah memerangi Muhammad. Padahal kaum Quraisy akan selalu menggunakan kesempatan yang ada untuk kembali ke negeri mereka, sehingga tinggallah kalian bersama Muhammad, dan Muhammad pasti akan membalas dendam pada kalian.” “Lalu apa yang harus kami lakukan, hai Mu’aim.” Tanya mereka. “Jangan kalian berperang bersama mereka, kecuali kalau mereka menyerahkan beberapa orang sebagai jaminan.” Ujarnya. Mereka berkata: “Engkau telah memberikan pendapat yang tepat.” Kemudian Nu’aim beranjak menemui orang-orang Quraisy. Ia berkata kepada Abu Sufyan: “Kalian sudah mengetahui bahwa aku menyukai kalian dan suka memberi nasihat kepada kalian?” Mereka berkata: “Ya.” Ia berkata: “Sesungguhnya kaum Yahudi (Bani Quraizhah) menyesali mengapa mereka mengingkari perjanjian dengan Muhammad dan para Sahabatnya. Mereka sudah mengirimkan surat kepada Muhammad, bahwa mereka akan meminta beberapa orang dari kalian sebagai jaminan yang akan mereka serahkan kepada Muhammad, baru kemudian akan dicincang-cincang dan dikembalikan kepada kalian.” Lalu ia pergi menemui kaum Ghathafan dan mengatakan hal yang serupa.

Pada malam Sabtu dari bulan Syawwal, kaum Quraisy mengirimkan surat kepada kaum Yahudi. Mereka berkata: “Kami sekarang tidaklah berada di negeri kami sendiri. Mari besok kita berangkat untuk menghabisi lelaki itu (Muhammad).” Kaum Yahudi mengirimkan surat balasan, bahwa hari ini adalah hari Sabtu. Kami tidak akan berperang bersama kalian, sebelum kalian menyerahkan beberapa orang sebagai jaminannya.” Saat utusan datang membawa surat balasan tersebut, kaum Quraisy berkata: “Demi Allah, Nu’aim berkata benar kepada kita.” Mereka segera mengirimkan utusan lagi: “Demi Allah, kami tidak akan mengirimkan seorangpun sebagai jaminan. Cepat, keluarlah untuk berperang bersama kami.” Bani Quraizhah berkata: “Demi Allah, Nu’aim berkata benar kepada kita.” Merekapun tidak mau lagi berperang bersama kaum Quraisy.

Allah  mengirimkan angin kepada kaum Quraisy dan bala tentara yang ikut bersama mereka, untuk memporak-porandakan mereka sehingga mereka tidak bisa berdiam di satu tempat dengan tenang, tidak bisa mendirikan kemah, menyalakan panci untuk memasak atau melakukan aktivitas lainnya. Saat melihat kejadian itu, merekapun segera melarikan diri pada malam itu.

Rasulullah  mengutus Hudzaifah bin Al Yaman untuk menyelidiki kondisi mereka. Kenyataan yang dia dapatkan seperti yang kita gambarkan tadi. Ia melihat Abu Sufyan memanaskan punggungnya dengan api. Kalau Hudzaifah mau, ia bisa saja membunuhnya. Kemudian ia pulang menemui Rasulullah  pada malam itu dan memberitahukan kondisi mereka, bahwa mereka akan melarikan diri pada malam itu. (Muslim: 1788)


Di pagi harinya, Rasulullah  kembali ke kota Madinah, dan kaum muslimin langsung meletakkan senjata. Datanglah Jibril  menemui Rasulullah  saat beliau sedang mandi di rumah Ummu Salamah. Ia bertanya: “Apakah kita sudah meletakkan senjata? Kami sendiri belum meletakkan senjata kami. Cepat bangkit dan datangi mereka (Bani Quraizhah). (Bukhari: 4117, Muslim: 1769)

Oleh : Ibnu Katsir
bersambung in sya Allah .....


Sumber : Pustaka AtTibyan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar