Di perang
inilah para hamba yang beriman mendapatkan cobaan dan mengalami kegoncangan.
Allah ingin meneguhkan iman yang ada di hati para waliNya dan menampakkan
kemunafikan yang selama ini tersembunyi, membongkarnya dihadapan mereka, juga
untuk menegur mereka. Kemudian Allah menurunkan kemenanganNya, menolong
hambaNya, dan menghancurkan gerombolan musuh, untuk kemudian memuliakan bala
tentaraNya serta mengusir orang-orang kafir dengan kemurkaanNya, menjaga kaum
muslimin dari kejahatan kaum kafir, dan semua itu dari keutamaan dan
karuniaNya.
Allah telah
mengharamkan atas mereka baik secara syar’i maupun berdasarkan takdirNya untuk
memerangi kaum mukminin sesudah perang tersebut (Bukhari: 4110). Bahkan
merekalah yang menjadi pecundang. Allah akan menjadikan bala tentaraNya sebagai
pemenang. Segala puji bagi Allah, Rabb sekalian makhluk.
Itu terjadi
pada tahun kelima Hijriyyah, di bulan Syawwal menurut pendapat yang benar dari
dua pendapat yang ada di kalangan Ahli Sejarah.
Dalilnya
adalah tidak ada perbedaan pendapat bahwa perang Uhud terjadi pada bulan
Syawwal di tahun ketiga. Sebelumnya telah dipaparkan pendapat para ulama
sejarah bahwa Abu Sufyan telah menantang mereka untuk bertemu kembali di Badar
pada tahun berikutnya. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah keluar
untuk menemui mereka, namun mereka ingkar janji, karena adanya paceklik pada
tahun tersebut di negeri mereka, sehingga tertunda hingga tahun berikutnya.
Abu Muhammad
bin Hazm Al Andalusi menyebutkan dalam Al Maghazi: “Demikianlah pendapat ahli
sejarah.” Beliau melanjutkan: “Yang benar dan tidak diragukan lagi adalah bahwa
peristiwa itu terjadi pada tahun keempat Hijriyyah. Itu adalah pendapat Musa
bin Uqbah.” Kemudian Ibnu Hazm beralasan dengan hadits Ibnu Umar: “Aku
menawarkan diri untuk berperang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
pada perang Uhud, saat itu aku berumur 14 tahun, sehingga beliau tidak
memperbolehkan aku ikut perang. Lalu aku menawarkan diri lagi untuk ikut perang
Khandaq, saat itu aku sudah berumur 15 tahun, dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
wa Sallam mengizinkanku (Bukhari: 2664, Muslim: 1868). Sehingga terbukti bahwa
antara kedua perang tersebut hanya ada jangka waktu setahun saja.
Penulis
menegaskan: Hadits ini dikeluarkan dalam Shahih Bukhari & Muslim. Namun
tidak mengindikasikan apa yang menjadi pendapatnya. Karena masalah izin
mengikuti perang menurut beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam disyaratkan telah
berumur 15 tahun. Yang belum mencapai usia tersebut, tidak diperbolehkan.
Adapun yang sudah mencapai usia tersebut, diperbolehkan ikut perang. Karena
pada saat perang Uhud usia Ibnu Umar belum mencapai 15 tahun, Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak memperbolehkannya. Sedangkan pada perang
Khandaq, usianya sudah cukup, maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
memperbolehkannya. Namun itu tidak menafikan bahwa usianya kala itu sudah lebih
satu, dua atau tiga tahun, bahkan lebih dari itu. Jadi artinya, seolah-olah ia
berkata: “Pada perang Khandaq, aku menawarkan diri, dan saat itu aku sudah baligh,
atau sudah layak ikut berperang.
Ada riwayat
yang menyebutkan bahwa pada perang Uhud ia memang baru menginjak usia keempat
belas. Sementara pada perang Khandaq, ia sudah di penghujung usia 15 tahun.
Namun pendapat itu masih perlu diselidiki lagi. Pendapat pertama lebih kuat
secara ilmiah bagi orang yang mau menelaah dan bersikap bijak. Wallahu A’lam.
Penyebab
perang Al Khandaq adalah bahwa sekelompok orang Yahudi dari kalangan Bani
Nadhir yang sudah diusir oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dari
Madinah ke Khaibar, seperti dipaparkan sebelumnya, yakni kalangan pembesar
mereka seperti Salam bin Abi Al Huqaiq, Salaam bin Misykam serta Kinanah bin
Rabi’ dan yang lainnya, keluar menemui kaum Quraisy di Mekkah dan mengajak
mereka berperang melawan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka
menjanjikan kemenangan. Akhirnya permintaan itu disetujui oleh kaum Quraisy.
Merekapun pergi ke Ghathafan dan mengajak penduduknya untuk bergabung. Kaum
Ghathafan pun menyetujuinya. Keluarlah Quraisy dipimpin oleh Abu Sufyan bin
Harb, sementara Ghathafan dibawah pimpinan Uyainah bin Hishn. Semuanya
berjumlah 10.000 personil.
Saat
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mendengar berita keberangkatan mereka,
beliau segera memerintahkan kaum muslimin menggali parit untuk menghalangi kaum
musyrikin menuju Madinah. Hal itu beliau lakukan berdasarkan usulan Salman Al
Farisi
. Kaum muslimin segera membuat parit tersebut agar tidak
didahului oleh kedatangan kaum Quraisy untuk menyerang mereka. Dalam proses
penggalian parit tersebut banyak ayat-ayat mufashshalah yang terlalu
panjang bila dijelaskan disini, serta berbagai riwayat Nabi yang mutawatir.
Saat parit sudah selesai dikerjakan, kaum musyrikin pun datang. Mereka singgah
di pinggiran kota Madinah, sebagaimana dalam firman Allah
:
øŒÎ) Nä.râä!$y_ `ÏiB öNä3Ï%öqsù ô`ÏBur Ÿ@xÿó™r& öNä3ZÏB …
ÇÊÉÈ
“(Yaitu) ketika
mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu..” (Al Ahzab: 10)
Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar membentengi diri dengan parit bersama 3000
personil kaum muslimin, menurut riwayat yang benar, dari kalangan penduduk
Madinah.
Ibnu Ishaq
berkeyakinan bahwa jumlah kaum muslimin kala itu 700. Itu kekeliruan, teropini
oleh perang Uhud. Wallahu a’lam. Mereka membelakangi Sal’, dan
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kaum wanita dan anak-anak
untuk diungsikan ke tengah kota Madinah, dan menugaskan Ibnu Ummi Maktum untuk
memimpin kota tersebut.
Huyayy bin
Akhtab AnNadhri segera pergi ke kalangan Bani Quraizhah dan berkumpul dengan
Ka’ab bin Asad, ketua mereka. Ia tetap di situ, hingga akhirnya Ka’ab bin Asad
mengingkari perjanjian antara dirinya dengan Rasulullah. Ka’ab ikut
bersekongkol dengan kaum musyrikin untuk memerangi Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam. Tentu saja kaum musyrikin senang menerimanya.
Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengirimkan Saad bin Muadz dan Saad bin Ubadah,
Khawwat bin Jubair dan Abdullah bin Rawahah untuk menyelidiki apakah Bani
Quraizhah mengingkari perjanjian atau tidak. Saat mereka mendekati kaum Yahudi
tersebut, ternyata mereka sudah terang-terangan memusuhi dan mengingkari
perjanjian. Mereka saling mencaci. Kaum Yahudi itu bahkan berani menghina
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, sehingga Saad balas mencaci mereka.
Merekapun pulang.
Rasululullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memerintahkan, apabila mereka benar-benar
mengingkari perjanjian, janganlah hal itu diberitahukan dalam barisan kaum
muslimin, karena bisa menimbulkan sikap lemah, namun hendaklah diberikan
isyarat kepada mereka. Saat mereka datang, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam bertanya: “Apa yang kamu lihat di sana?” Mereka menjawab: “Suku
Adhal dan Qaarah yang telah menghianati delegasi ArRaji’.” Hal itu tentu
saja menghenyakkan kaum muslimin sehingga mereka semakin gelisah dan bertambah
susah. Kondisi mereka sebagaimana difirmankan oleh Allah
:
y7Ï9$uZèd u’Í?çGö/$# šcqãZÏB÷sßJø9$# (#qä9Ì“ø9ã—ur Zw#t“ø9Η #Y‰ƒÏ‰x© ÇÊÊÈ
“Disitulah
diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat.”
(Al Ahzab: 11)
Kemunafikan
semakin menajam dan semakin banyak jumlahnya. Bahkan sebagian kalangan Bani
Haritsah meminta ijin kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk
kembali ke rumah. Mereka beralasan: “Rumah-rumah tersebut terbuka, tidak ada
penghalang bagi para musuh untuk mendatanginya.” Bani Salamah juga berniat
menggagalkan perang. Akan tetapi Allah meneguhkan kedua golongan tersebut.
![]() |
ilustrasi |
Kaum
musyrikin masih terus mengepung Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam selama
sebulan, namun tidak juga terjadi pertempuran di antara mereka, karena Allah
selalu menghalangi mereka dengan adanya parit tersebut.
Hanya
saja ada beberapa jagoan berkuda dari kalangan Quraisy, yakni Amru bin Abdu,
Wadd Al Amiri dan beberapa orang yang lain, berhasil menerobos ke dalam parit.
Saat berada di depan parit tersebut, mereka berkata: “Tipu daya semacam ini
belum pernah dikenal oleh bangsa Arab.” Lalu mereka berusaha mencari-cari celah
yang agak sempit dari Khandaq (parit) tersebut dan menerobos masuk serta melewatinya.
Karena mengendarai kuda, mereka terjebak di antara parit (khandaq) dengan Sal’.
Merekapun menantang untuk perang tanding (1 by 1). Tantangan Amru bin Abdu Wadd
dilayani oleh Ali bin Abi Thalib dan merekapun bertanding. Dengan ijin Allah,
Ali berhasil membunuhnya. Padahal di masa Jahiliyyah, tak ada yang mampu
menandingi keberanian Amru. Namun ia sudah tua, dan kala itu ia sudah berumur
lebih dari 100 tahun.
Adapun
sisanya, langsung beranjak kembali kepada kaum mereka. Itulah saat pertama kali
Allah membongkar kehinaan mereka.
Syiar
kaum muslimin pada peperangan itu adalah Haamiim, mereka tidak akan
menang. (Abu Dawud: 2597, AnNasaa-i: VI: 361, AtTirmidzi: 1682)
Setelah
beberapa lama kondisi seperti itu dialami kaum muslimin, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
wa Sallam ingin mengajak berdamai Uyainah bin Hishn dan Al Harits bin Auf, 2
orang pemimpin Ghathafan dengan bayaran sepertiga buah-buahan di kota Madinah,,
agar mereka pergi membawa kaum mereka. Maka diadakanlah musyawarah tentang
persoalan itu, dan belum terjadi kesepakatan, hingga akhirnya Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta saran dari 2 orang Sahabatnya yang
sama-sama bernama Saad, untuk menyelesaikan persoalan itu. Mereka berdua
berkata: “Wahai Rasulullah ! Kalau Allah memang memerintahkanmu untuk berdamai
dengan mereka, kami hanya bisa mendengar dan mentaatinya. Namun kalau itu hanya
inisiatif pribadimu saja, ketahuilah, bahwa kami pernah bersama kaum tersebut
dalam kemusyrikan dan penyembahan berhala. Mereka tidak pernah memakan atau
mengkonsumsi buah-buahan kami kecuali dengan cara jual beli. Saat Allah
memberikan kemuliaan kepada kami dengan Islam, memberikan petunjuk kepada kami
sehingga kami memeluk Islam. Allah juga memberikan kemuliaan kepada kami dengan
kehadiranmu. Apakah kemudian kami memberikan harta kami kepada mereka? Demi
Allah, kami hanya ingin memberikan ‘pedang’ kepada mereka.” Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Usul itu hanyalah inisiatif
pribadiku saja.” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam membenarkan
pendapat mereka dalam hal itu. Akhirnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
tidak melakukan tindakan apapun.
Namun
Alhamdulillah, Allah
menciptakan peristiwa yang menunjukkan
kehinaan mereka serta merontokkan persekongkolan mereka. Kejadiannya, bahwa
Nuaim bin Mas’ud bin Amir Al Ghathafani
datang menemui Nabi
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ia berkata: “Wahai Rasulullah ! Saya telah
masuk Islam, perintahkanlah kepadaku apa yang engkau mau.” Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Engkau hanya satu orang saja.
Silahkan perdayakan musuh untuk kepentingan kami sebisamu. Karena perang adalah
tipu daya.” (Bukhari: 3029, Muslim: 1740).
Saat itu
juga ia pergi ke Bani Quraizhah. Di masa jahiliyyah, ia adalah teman akrab Bani
Quraizhah. Ia menemui mereka, sementara mereka belum mengetahui keislamannya. Ia berkata: “Hai Bani Quraizhah! Kalian telah memerangi Muhammad. Padahal kaum
Quraisy akan selalu menggunakan kesempatan yang ada untuk kembali ke negeri
mereka, sehingga tinggallah kalian bersama Muhammad, dan Muhammad pasti akan
membalas dendam pada kalian.” “Lalu apa yang harus kami lakukan, hai Mu’aim.”
Tanya mereka. “Jangan kalian berperang bersama mereka, kecuali kalau mereka
menyerahkan beberapa orang sebagai jaminan.” Ujarnya. Mereka berkata: “Engkau
telah memberikan pendapat yang tepat.” Kemudian Nu’aim beranjak menemui
orang-orang Quraisy. Ia berkata kepada Abu Sufyan: “Kalian sudah mengetahui
bahwa aku menyukai kalian dan suka memberi nasihat kepada kalian?” Mereka
berkata: “Ya.” Ia berkata: “Sesungguhnya kaum Yahudi (Bani Quraizhah) menyesali
mengapa mereka mengingkari perjanjian dengan Muhammad dan para Sahabatnya.
Mereka sudah mengirimkan surat kepada Muhammad, bahwa mereka akan meminta
beberapa orang dari kalian sebagai jaminan yang akan mereka serahkan kepada
Muhammad, baru kemudian akan dicincang-cincang dan dikembalikan kepada kalian.”
Lalu ia pergi menemui kaum Ghathafan dan mengatakan hal yang serupa.
Pada malam
Sabtu dari bulan Syawwal, kaum Quraisy mengirimkan surat kepada kaum Yahudi.
Mereka berkata: “Kami sekarang tidaklah berada di negeri kami sendiri. Mari
besok kita berangkat untuk menghabisi lelaki itu (Muhammad).” Kaum Yahudi mengirimkan surat
balasan, bahwa hari ini adalah hari Sabtu. Kami tidak akan berperang bersama
kalian, sebelum kalian menyerahkan beberapa orang sebagai jaminannya.” Saat
utusan datang membawa surat balasan tersebut, kaum Quraisy berkata: “Demi
Allah, Nu’aim berkata benar kepada kita.” Mereka segera mengirimkan utusan
lagi: “Demi Allah, kami tidak akan mengirimkan seorangpun sebagai jaminan.
Cepat, keluarlah untuk berperang bersama kami.” Bani Quraizhah berkata: “Demi
Allah, Nu’aim berkata benar kepada kita.” Merekapun tidak mau lagi berperang
bersama kaum Quraisy.
Allah
mengirimkan angin kepada kaum Quraisy dan bala
tentara yang ikut bersama mereka, untuk memporak-porandakan mereka sehingga
mereka tidak bisa berdiam di satu tempat dengan tenang, tidak bisa mendirikan
kemah, menyalakan panci untuk memasak atau melakukan aktivitas lainnya. Saat
melihat kejadian itu, merekapun segera melarikan diri pada malam itu.
Rasulullah
mengutus Hudzaifah bin Al Yaman untuk
menyelidiki kondisi mereka. Kenyataan yang dia dapatkan seperti yang kita
gambarkan tadi. Ia melihat Abu Sufyan memanaskan punggungnya dengan api. Kalau
Hudzaifah mau, ia bisa saja membunuhnya. Kemudian ia pulang menemui Rasulullah
pada malam itu dan memberitahukan kondisi
mereka, bahwa mereka akan melarikan diri pada malam itu. (Muslim: 1788)
Di pagi harinya, Rasulullah
kembali ke kota Madinah, dan kaum muslimin
langsung meletakkan senjata. Datanglah Jibril
menemui Rasulullah
saat beliau sedang mandi di rumah Ummu
Salamah. Ia bertanya: “Apakah kita sudah meletakkan senjata? Kami sendiri belum
meletakkan senjata kami. Cepat bangkit dan datangi mereka (Bani Quraizhah).
(Bukhari: 4117, Muslim: 1769)
Oleh : Ibnu Katsir
bersambung in sya Allah .....
Sumber : Pustaka AtTibyan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar