Selasa, 24 November 2015

(24/48) Sedikit Tentang Bani Quraizhah | Sejarah Nabi Muhammad


Pada saat itu juga Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bangkit dan memerintahkan kaum muslimin agar mereka tidak melaksanakan shalat Ashar sebelum sampai di perkampungan Bani Quraizhah. Padahal saat itu sudah masuk Ashar.
Kaum muslimin segera pergi berombongan. Di antara mereka ada yang melakukan shalat Ashar di perjalanan, dan mereka beralasan: “Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bukan menginginkan kita untuk meninggalkan shalat. Yang beliau inginkan adalah mempercepat perjalanan.” Sementara sebagian lain ada yang baru mengerjakan shalat setelah matahari tenggelam saat sampai di perkampungan Bani Quraizhah. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam tidak mengecam salah satu dari dua kelompok muslimin yang berbeda pendapat tersebut.” (Bukhari: 4119, Muslim: 1770)

Ibnu Hazm menyatakan: “Kelompok yang kedua adalah benar, sementara kelompok pertama adalah salah, tetapi mendapatkan pahala. Allah mengetahui, bahwa kalau kita berada di sana saat itu, kita juga akan shalat Ashar di Bani Quraizhah, meskipun setelah beberapa hari kemudian.

Penulis menegaskan: Kalau Ibnu Hazm, bisa dimaklumi bila berpendapat demikian, karena ia adalah tokoh besar AzZhahiriyah, sehingga tidak mungkin ia beralih dari nash tersebut secara eksplisit.

Akan tetapi mengutamakan salah satu dari perbuatan tersebut dari yang lain masih perlu diselidiki. Karena Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam tidak pernah mengecam salah satu dari dua kelompok tersebut. Kalau ada yang berpendapat membenarkan setiap mujtahid, berarti mereka semua benar, tidak ada yang lebih diunggulkan. Adapun yang berpendapat bahwa yang benar hanya satu, yaitu kebenaran yang tidak diragukan lagi dan tidak perlu diperdebatkan lagi berdasarkan dalil-dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka ia juga harus berpendapat bahwa salah satu dari kedua kelompok tersebut mendapatkan dua pahala, dan yang lain mendapatkan satu pahala.

Kami tegaskan, semoga Allah memberikan taufiq, bahwa mereka yang shalat Ashar pada waktunya telah berhasil merebut tongkat estafet, karena mereka telah mengikuti perintah Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam untuk segera berjihad dan melaksanakan shalat pada waktunya, terutama sekali shalat Ashar yang Allah tegaskan sebagai shalat yang harus betul-betul dijaga. Allah  berfirman:

Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa” (AlBaqarah: 238)

Yang dimaksud dengan shalat wusthaa adalah shalat Ashar, menurut pendapat yang benar dan pasti, in sya Allah, dari belasan pendapat yang ada, juga karena ajaran sunnah amatlah memperhatikan shalat tersebut.

Kalau ada yang berkata: Menangguhkan shalat untuk kepentingan jihad pada saat itu adalah diperbolehkan, sebagaimana Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam juga pernah menangguhkan shalat Ashar dan Maghrib pada perang Khandaq karena sibuk berjihad, bahkan shalat Zhuhur juga, seperti disebutkan dalam hadits AnNasaa-i melalui dua jalur riwayat?

Jawabannya: Kalaupun misalnya pendapat itu bisa diterima, dan bahwa beliau tidak meninggalkan shalat pada saat itu karena lupa. Akan tetapi beliau menyesali perbuatannya tersebut, dimana saat Umar bin Khattab berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah! Hampir saja aku tidak shalat Ashar hingga matahari tenggelam.” Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam berkata: "Demi Allah, aku juga belum shalat.” (Bukhari: 596, Muslim: 631). Itu menegaskan bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam memang lupa melakukannya karena kesibukan yang dihadapinya, seperti disebutkan dalam Shahih Bukhari & Muslim dari Ali , bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda pada saat perang Ahzab: “Mereka membuat kita meninggalkan shalat wustha, yakni shalat Ashar. Semoga Allah mengisi perut mereka dengan api di kuburan mereka.” (Bukhari: 6396, Muslim: 627).

Walhasil, bahwa orang-orang yang shalat Ashar di perjalanan telah menggabungkan antara berbagai dalil yang ada dan mereka memahami maknanya, sehingga mereka mendapatkan pahala dua kali. Sedangkan kelompok yang lain, betul-betul telah menjaga perintah nabi yang khusus, sehingga bagi mereka pahala. Semoga Allah memberikan keridhaan kepada mereka semua.

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam menyerahkan panji perang kepada Ali , dan memilih Ibnu Ummi Maktum untuk memimpin Madinah. Mereka turun di benteng Bani Quraizhah dan mengepung mereka selama 20 malam. Pemimpin mereka, Kaab bin Asad menawarkan 3 pilihan kepada kaumnya:

1.    Masuk Islam dan bergabung bersama Muhammad  dalam agamanya.
2.    Seluruh perawan mereka dibunuh, dipaksa keluar tanpa pakaian, lalu diperangi hingga habis tak bersisa, atau meloloskan diri dan anak istri mereka dibunuh habis.
3.    Menyerang Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dan para Sahabatnya di Hari Sabtu, saat Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam merasa aman dari gangguan mereka.

Namun mereka tidak menerima satupun pilihan tersebut.

Huyayy bin Akhtab juga ikut bersama mereka dalam benteng saat orang-orang Quraisy sudah pergi. Karena Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam sudah memberikan janji demikian kepada mereka, sebelum mereka mengingkari perjanjian tersebut. Mereka mulai mencaci Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam hingga para Sahabat mendengarnya. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam ingin berbicara langsung dengan mereka. Namun Ali berkata: “Jangan mendekati mereka, wahai Rasulullah.” Ali khawatir Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam akan mendengar hal yang tidak mengenakkan dari mereka. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab: “Kalau mereka melihatku, mereka tidak akan mengatakan apa-apa.” Saat mereka melihat Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, tak seorangpun di antara mereka yang bisa berkata-kata sedikitpun.

Kemudian Rasulullah  mengutus kepada mereka Abu Lubabah bin Abdul Mundzir Al Ausi, termasuk salah seorang tokoh Al Aus. Saat mereka melihat Lubabah, mereka menangis di hadapannya, baik pria dan wanitanya. Mereka berkata: “Hai Abu Lubabah! Bagaimana pendapatmu tentang kami? Apakah kami harus mengikuti keputusan Muhammad?” Abu Lubabah menjawab: “Ya.” Ia memberikan isyarat kepada mereka dengan tangannya yang disilangkan di lehernya. Yakni penyembelihan. Namun kemudian ia menyesali ucapannya saat itu. Ia langsung berdiri dan pergi, namun tidak kembali menemui Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam hingga ia datang ke masjid Madinah. Ia mengikat dirinya di tiang masjid dan bersumpah bahwa yang boleh melepaskan ikatannya hanyalah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, dengan tangan beliau sendiri, dan bahwa ia tidak akan pernah menginjakkan kakinya lagi di kaum Bani Quraizhah selama-lamanya. Ketika berita itu sampai kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Biarkan dia seperti itu sampai Allah memberikan taubat kepadanya.” Dan memang demikianlah kondisinya hingga Allah memberikan taubat kepadanya. Semoga Allah meridhainya.

Kemudian Bani Quraizhah menyerahkan keputusan kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam. Pada malam itu juga, Tsa’labah dan Usaid, keduanya anak Sa’yah, serta Asad bin Ubaid, kesemuanya masuk Islam. Mereka berasal dari Bani Hadl dari keturunan paman Quraizhah dan Nadhir. Pada malam itu juga Amru bin Su’da Al Qurazhi keluar dan pergi, tidak ada yang tahu kemana dia pergi. Memang dia tidak pernah setuju dengan Bani Quraizhah untuk mengingkari perjanjian.

Saat mereka menyerahkan keputusannya kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam kaum Al Aus berkata: “Wahai Rasulullah! Engkau telah melakukan tindakan terhadap Bani Qainuqaa’ sebagaimana yang engkau tahu, dan mereka adalah para tokoh saudara kami dari kalangan Al Khazraj. Sementara mereka ini adalah mantan para pemimpin kami.” Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bertanya: “Sukakah kalian bila aku serahkan keputusan hukum ini kepada seorang di antara kalian?” “Tentu kami suka.” Jawab mereka. “Kuserahkan keputusan kepada, Saad bin Muadz.” Ujar beliau. Saat itu Saad sedang mengalami luka di bagian kelopak matanya. Rasulullah membuatkan kemah untuknya di dalam masjid agar bisa dijenguk dalam waktu dekat. Rasulullah mengutus seseorang untuk membawanya, dan Saad pun dihadirkan. Mereka mengusungnya di atas keledai, sementara kalangan suku Aus mengelilinginya sambil berkata: “Hai Abu Amrun, berlaku baiklah terhadap mantan pemimpin-pemimpin mu!” Saat mereka sudah terlalu banyak bicara, Saad menanggapi: “Sudah saatnya bagi Saad untuk tidak lagi mempedulikan cacian orang, demi kepentingan Allah.” Beberapa orang lelaki dari kaumnya pergi menemui Bani Abdu Asyhal. Mereka mengeluhkan nasib Bani Quraizhah kepada mereka. Ketika Saad sudah dekat dengan Rasulullah, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam berkata: “Berdirilah dan tolonglah pemimpin kalian!” Kaum muslimin bangkit menolong Saad. Mereka berkata: “Wahai Saad, Rasulullah telah memilihmu untuk mengambil keputusan terhadap Bani Quraizhah.” Saad menanggapi: “Apakah kalian wajib mentaati perjanjian Allah, bahwa keputusannya adalah keputusanku?” Mereka berkata: “Ya.” Ia melanjutkan: “Dan juga beliau?” Ia menunjuk kearah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam berada, namun ia tidak menoleh kepada beliau sebagai penghormatannya terhadap beliau. Rasulullah menjawab: “Ya.” Maka Saad berkata: “Keputusanku terhadap mereka adalah: Bunuh mereka yang terlibat perang, dan tawan para wanita mereka.”

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: “Sungguh engkau telah memutuskan perkara ini dengan hukum Allah dari atas tujuh lapis langit.” (Bukhari: 4121, Muslim: 1768)

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam memerintahkan agar membunuh setiap laki-laki yang telah tumbuh (bulu kemaluannya) dan membiarkan yang belum tumbuh. Leher mereka dipancung di parit yang digali di pasar Madinah sekarang. Jumlah mereka antara 600 hingga 700. Ada juga riwayat menyebutkan: antara 700 hingga 800.

Di kalangan wanita, tak seorangpun yang dibunuh, kecuali seorang wanita saja, yakni Banaanah, istri dari Al Hakam Al Qurazhi. Karena dialah yang telah melemparkan batu gilingan ke kepala Suwaid bin AshShaamit hingga mati. Semoga Allah melaknatnya (Ahmad: VI: 277)

Beliau Shalallahu 'Alaihi wa Sallam membagi-bagikan harta Bani Quraizhah kepada kaum muslimin. Untuk pasukan pejalan kaki satu bagian dan untuk pasukan berkuda tiga bagian.

Saat itu kaum muslimin memiliki 36 pasukan berkuda.

Usai peristiwa itu, Allah mengabulkan doa hamba yang shalih Saad bin Muadz, yakni bahwa ketika ia terluka, ia berdoa: “Ya Allah, kalau Engkau masih menyisakan peperangan dengan Quraisy, berikanlah kesempatan kepadaku untuk terlibat lagi di dalamnya. Kalau Engkau sudah menghabiskan peperangan antara kami dengan mereka, kobarkanlah kembali perang tersebut. Janganlah Engkau mengambil nyawaku sebelum aku menyelesaikan perkara dengan Bani Quraizhah.” (Bukhari: 4122, Muslim: 1769)

Sebelumnya ia membalut lukanya, namun luka itu kembali pecah, dan ia pun meninggal dunia. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dan kaum muslimin segera mengiringkan jenazahnya. Kematian Saad lah yang telah mengguncangkan Arsy ArRahman (Bukhari: 2803, Muslim: 2466) karena Arsy Allah bergembira dengan kedatangan ruhnya. Semoga Allah meridhainya.


Pada perang Khandaq dan perang Bani Quraizhah, kaum muslimin yang mati syahid berjumlah 10 orang. Semoga Allah meridhai mereka. Aaamiin.

Oleh : Ibnu Katsir
bersambung in sya Allah .....


Sumber : Pustaka AtTibyan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar