Minggu, 20 Desember 2015

(42/48) Istri-istri Rasulullah -semoga Allah meridhai mereka- | Sejarah Nabi Muhammad


Wanita pertama yang dinikahi oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Khadijah binti Khuwailid RA. Ia adalah wanita yang meneguhkan hati beliau saat diangkat sebagai rasul. Ia juga wanita yang pertama kali beriman kepada beliau, menurut pendapat yang shahih. Ada juga pendapat yang pertama kali beriman adalah Abu Bakar, namun pendapat ini ganjil. Selama Khadijah masih hidup, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah menikah dengan wanita lain, karena kemuliaan dan kehormatannya di sisi beliau.


Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, siapa yang lebih utama, Khadijah atau Aisyah? Kebanyakan ulama mengunggulkan pendapat bahwa Khadijah lebih utama (Bukhari: 3815, Muslim: 3430). Dan Khadijah wafat sebelum nabi berhijrah.

Kemudian beliau menikahi Saudah binti Zam’ah Al Qurasyiyyah Al Amiriyyah setelah kematian Khadijah di Mekkah dan sempat tinggal serumah di kota tersebut (sebelum hijrah).

Saat Saudah sudah lanjut usianya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ingin menceraikannya. Namun Saudah mengajak beliau berdamai dengan memberikan hari gilirannya kepada Aisyah (Abu Dawud: 2135, Ahmad VI: 117, 466)

Ada riwayat bahwa Saudah yang menyampaikan itu kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan giliran tersebut kepada Aisyah. Berkaitan dengan persoalannya, Allah menurunkan firman-Nya:

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)…” (AnNisa: 128)

Ia meninggal dunia di akhir-akhir masa kekhalifahan Amirul Mukminin, Umar bin Khattab RA. Ada riwayat menyebutkan bahwa beliau sudah menikahi Aisyah sebelum menikahi Saudah. Akan tetapi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam baru berhubungan intim dengan Aisyah pada bulan Syawwal tahun kedua Hijriyyah. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam belum pernah menikahi perawan selain Aisyah. Dan belum pernah turun wahyu saat beliau berada dalam satu selimut dengan seorang dari istri-istri beliau, melainkan dengan Aisyah (Bukhari: 3775).

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam juga tidak pernah mencintai wanita lain seperti cintanya kepada Aisyah (Bukhari: 2662, Muslim: 2384). Bahkan Aisyah memiliki banyak pengaruh dan keistimewaan yang disebutkan dalam Al Qur’an dan Hadits.

Di kalangan umat Islam ini, tidak ada seorang wanitapun yang mencapai kapasitas ilmu seperti Aisyah. Aisyah wafat pada tahun 57 atau 58 Hijriyyah.

Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam juga menikahi Hafshah binti Umar bin Al Khattab RA pada tahun ketiga Hijriyyah. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menceraikan Hafshah (Abu Dawud: 2283, AnNasaa-i: 3562, Ibnu Majah: 2016) Namun kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam rujuk kepadanya. Hafshah wafat pada tahun ke 41 Hijriyyah. Ada juga riwayat yang menyebutkan 50 Hijriyyah, bahkan ada yang menyebutkan 45 Hijriyyah.

Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahi Ummu Salamah, namanya adalah Hindun binti Abi Umayyah. Abu Umayyah sendiri namanya adalah Hudzaifah. Ada juga yang menyebutkan Sahl bin Al Mughirah bin Abdullah bin ‘Umar bin Makhzum Al Qurasyiyyah. Pernikahan itu berlangsung setelah wafatnya suami Ummu Salamah, yakni Abu Salamah, Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal bin Abdullah bin Amru bin Makhzum, sepulang dari perang Badar.

Selesai iddahnya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melamarnya. Konsekuensinya, bahwa pernikahan itu terjadi pada awal tahun ketiga Hijriyyah. Yang menjadi wali pada pernikahannya adalah anaknya, Umar, sebagaimana diriwayatkan oleh AnNasaa-i: 3254 & Ahmad VI: 317, melalui jalur riwayat Hammad bin Salamah dari Tsabit Al Bunaani, dari Ibnu Umar bin Abi Salamah, dari ayahnya, dan Ummu Salamah.

Penulis telah merangkum sebagian diantaranya. Penulis menjelaskan bahwa Umar yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah Umar bin Al Khattab. Karena Umar lah yang melamarkan Ummu Salamah untuk Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Al Waqidi dan ahli sejarah lainnya menyebutkan bahwa yang menjadi wali nikah Ummu Salamah adalah anaknya sendiri, Salamah. Dan itulah pendapat yang benar, in sya Allah Ta’ala.
Ada juga riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahi Ummu Salamah tanpa wali. Wallahu A’lam.

Al Waqidi menyebutkan bahwa Ummu Salamah wafat tahun 69 Hijriyyah. Yang lain mengatakan beliau wafat pada masa khilafah Yazid bin Mu’awiyyah tahun 62 H.

Setelah itu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahi Zainab binti Jahsy pada tahun kelima Hijriyyah bulan Dzulqaidah. Ada riwayat yang menyebutkan, justru di tahun ketiga, namun riwayat tersebut lemah.

Pada pagi hari pernikahan beliau dengan Zainab, turunlah ayat hijab, sebagaimana dikeluarkan dalam Shahih Al Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik. Dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika itu langsung menghijabinya. Sementara umur Anas saat Rasulullah tiba di kota Madinah adalah 10 tahun. Berarti, pada saat itu umur Anas adalah 15 tahun. Wallahu A’lam.

Wali Zainab kala itu adalah Allah ‘Azza wa Jalla, bukan dari kalangan manusia. Allah berfirman:
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia…” (Al Ahzaab: 37)

Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya (7420, 7421) dengan sanad tsulatsi (hanya tiga rantai perawi), bahwa Zainab pernah membanggakan dirinya di hadapan seluruh istri Nabi yang lain: “Kalian dinikahkan dengan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam oleh wali-wali kalian, sementara aku dinikahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Ada di langit.”

Ia adalah istri Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang pertama kali wafat (Muslim: 2452)

Al Waqidi menyatakan: “Ia wafat pada tahun 20 H. Ia dishalatkan oleh Umar bin Khattab RA.

Kemudian beliau menikahi Juwairiyyah binti Al Harits bin Abi Dhiraar Al Mushthaliqiyyah. Yakni saat beliau memerangi kaum Juwairiyyah pada tahun ke 6 H di sumber air yang dikenal bernama Muraisyi. Juwairiyyah menjadi bagian Tsabit bin Qais bin Syammas yang lalu membebaskannya dengan pembayaran cicilan. Datanglah ia kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta tolong agar beliau membayarkan cicilan pembebasannya. Akhirnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam membelinya dan membebaskannya, baru kemudian beliau menikahinya (Abu Dawud: 3931)

Ada riwayat menyebutkan bahwa Juwairiyyah meninggal dunia pada tahun 50 H. Al Waqidi menegaskan: “Tahun 56 Hijriyyah.”

Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahi Shafiyyah binti Huyayy bin Akhtab Al Israiliyyah Al Haruiniyyah An Nadhiriyyah kemudian Al Khaibariyyah. Semoga Allah meridhainya. Yakni bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memilihnya dari sekian harta rampasan Khaibar yang ada. Itu terjadi di awal-awal tahun 7 Hijriyyah. Beliau membebaskannya, dan pembebasan itu dijadikan oleh beliau sebagai maharnya.

Setelah ia menjadi halal, di perjalanan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berhubungan suami istri dengan Shafiyyah dan mengenakan hijab kepadanya. Dengan demikian dapat dimaklumi bahwa ia sudah menjadi Ummahatul Mukminin (Bukhari: 5169, Muslim: 1365)

Al Waqidi menyatakan: “Ia wafat tahun 50 H.” Sementara ulama lain menyatakan tahun 36 H. Wallahu A’lam.

Pada tahun itu juga –dalam riwayat lain pada tahun sebelumnya yakni tahun keenam- beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahi Ummu Habibah. Namanya adalah Ramlah binti Abu Sufyan Shakr bin Harb bin Umayyah bin Abdusy Syams Al Umawiyyah.

Yang melamarkan untuk beliau adalah Amru bin Umayyah AdhDhamri. Saat itu Ummu Habibah berada di Habasyah. Yakni saat ia ditinggal wafat oleh suaminya, Ubaidillah bin Jahsy. Yang menjadi walinya adalah Khalid bin Said bin Al Ash. Ada juga yang menyatakan: Raja Najasyi. Yang benar adalah riwayat pertama. Akan tetapi yang memberikan mahar kepada Ummu Habibah untuk Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah raja AnNajasyi sebanyak 400 dinar. Raja AnNajasyi juga yang menyiapkan keberangkatan Ummu Habibah dan mengirimkannya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam (Abu Dawud: 2107, 2108, AnNasaa-i: 3350, Ahmad VI: 427)

Adapun yang diriwayatkan oleh Muslim dalam shahih-nya (2501) dari hadits Ikrimah bin Ammar Al Yamani, dari Abu Zumail Simaak bin Al Walid, dari Ibnu Abbas diriwayatkan bahwa Abu Sufyan saat masuk Islam, dan berbicara dengan Rasulullah ia berkata: “Saya memiliki putri tercantik di tanah Arab, Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Kunikahkan engkau dengan putriku itu..”

Riwayat ini dianggap aneh sekali dari Imam Muslim rahimahullah, bagaimana beliau sampai tidak menyadarinya? Karena Abu Sufyan baru masuk Islam pada malam penaklukan kota Mekkah, yakni setelah 1 tahun lebih Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahi Ummu Habibah. Dan itu adalah hal yang tidak diperdebatkan di kalangan ulama. Riwayat muslim ini dianggap sulit dimengerti oleh banyak ulama.

Ibnu Hazm beranggapan bahwa riwayat itu adalah palsu, beliau juga menganggap lemah Ikrimah bin Ammar. Namun tak seorangpun ulama dahulu dan sekarang yang beranggapan demikian.

Adapun Muhammad bin Thahir Al Maqdisi menyatakan: Maksudnya adalah bahwa Abu Sufyan hendak memperbaharui aqad, agar jangan sampai Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahinya tanpa seijinnya, karena ia merasa dongkol. Atau Abu Sufyan beranggapan bahwa dengan keislamannya, maka pernikahan putrinya itu batal. Pendapat demikian juga diamini oleh Abu Amru bin AshShalah dan Abu Zakariyya An Nawawi dalam Syarh Muslim (16:63)

Dan itu amat jauh sekali pengertiannya. Kalau memang demikian, tentu Abu Sufyan tidak akan mengatakan: “Saya memiliki putri tercantik di tanah Arab..” Karena Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah melihatnya dari semenjak satu tahun sebelumnya atau lebih.

Anggapan bahwa pernikahan putrinya tersebut batal karena keislaman Abu Sufyan, juga amat jauh sekali.

Yang benar dalam hal ini, Abu Sufyan saat melihat bahwa dengan menjadikan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai menantunya ia akan mendapatkan kehormatan, ia ingin menikahkan beliau dengan putrinya yang lain, yaitu ‘Azzah. Ia meminta tolong kepada saudari dari ‘Azzah, yaitu Ummu Habibah, sebagaimana dikeluarkan dalam Shahih Bukhari & Muslim (5101), Muslim (1449), dari Ummu Habibah bahwa ia berkata; “Wahai Rasulullah! Nikahilah saudariku, putri Abu Sufyan.” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya: “Apakah engkau betul-betul menyukainya?” Ummu Habibah menjawab: “Ya.”

Sementara dalam Shahih Muslim diriwayatkan bahwa Ummu Habibah berkata: “Wahai Rasulullah! Nikahilah saudariku, ‘Azzah binti Abu Sufyan..”

Dengan demikian, maka hadits sebelumnya adalah shahih. Berarti memang terjadi kesalahpahaman dari sebagian perawi saat Abu Sufyan mengatakan: “Saya memiliki putri tercantik di tanah Arab..” bahwa putrinya tersebut adalah Ummu Habibah, padahal sebenarnya adalah ‘Azzah. Perawi tersebut tidak dapat membedakannya. Atau mungkin juga salah satu perawi menyebutkan: “Yakni putrinya..” dan perawi lain yang mendengarnya menganggapnya Ummu Habibah, karena ia tidak mengetahui ada putri lain dari Abu Sufyan.

Kekeliruan seperti ini memiliki banyak contoh lain. Penulis sudah merangkumnya dalam sebuah tulisan khusus berkaitan dengan hadits ini. Segala puji bagi Allah, dan segala karunia hanya milik Nya.

Ummu Habibah wafat pada tahun 44 H, berdasarkan riwayat dari Abu Ubaid. Sementara Abu Bakar bin Abi Khaitsamah menyatakan: “Tahun 59 H, satu tahun sebelum kematian saudaranya, Muawiyyah.”

Dan pada tahun yang sama di bulan Dzulqaidah, beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahi Maimunah binti Al Harits Al Hilaliyyah.

Para ulama berbeda pendapat apakah saat itu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah berihram atau belum. Dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih mereka (Bukhari: 5114, Muslim: 1409) dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kala itu sedang berihram.

Ada yang berpendapat bahwa itu termasuk kekhususan bagi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, berdasarkan riwayat Muslim dari Ustman, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

Orang yang berihram, tidak boleh menikah, tidak boleh dinikahi, dan tidak boleh melamar.” (Muslim: 1410)

Abu Hanifah lebih bersandar pada pendapat pertama, dan menafsirkan hadits Ustman bahwa larangan itu menunjukkan makruh saja.

Bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa hukumnya adalah mubah, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari Maimunah, ia menceritakan bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahinya saat sudah bertahalul, lalu berhubungan intim dengannya juga setelah bertahalul (Muslim: 1411)

Mayoritas ulama lebih mendahulukan hadits ini daripada pendapat Ibnu Abbas, karena Maimunah adalah tokoh yang mengisahkan kisahnya sendiri, sehingga tentunya ia lebih mengetahui.

Demikian juga Abu Rafi’ memberitahukan hal yang sama sebagaimana yang diriwayatkan oleh AtTirmidzi 841 dan Ahmad VI: 392. Abu Rafi’ adalah perantara yang menghubungkan antara Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Maimunah.

Hadits Ibnu Abbas terdahulu telah dibantah dengan berbagai argumentasi yang bukan disini kesempatan untuk mengulasnya.

Maimunah meninggal dunia di Saraf, dimana Rasulullah pertama kali berhubungan badan dengannya sepulang beliau dari Umratul Qadhaa. Ia wafat tahun 51 H. ada pendapat, 53 H dan juga 66 H. Ia dishalatkan oleh kemenakannya, Abdullah bin Abbas RA.


Kesembilan wanita itu adalah istri-istri Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah Khadijah sebagaimana tercantum dalam Shahih Bukhari & Muslim bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat sebelum mereka semua (Bukhari: 284, Muslim: 1462)

Dalam sebuah riwayat dalam AshShahih (Bukhari: 268) disebutkan bahwa beliau wafat tahun 11 H. namun riwayat pertama lebih shahih.

Qatadah bin Di’amah meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah menikahi 15 orang wanita. Beliau sempat menggauli 13 diantaranya, sempat hidup dengan 11 orang diantaranya berbarengan, dan kala wafat meninggalkan 9 orang istri.

Sementara Al Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Wahid Al Maqdisi meriwayatkan yang senada dengan itu dari Anas dalam bukunya Al Mukhtaarah, dan itu hal yang cukup populer.

Penulis sendiri menyaksikan banyak dari kalangan Imam mutaakhirin dari kalangan Malikiyyah atau yang lainnya dalam kitab AnNikaah menyebutkan sejumlah istri yang sudah pernah dicampuri Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan yang belum, totalnya sekitar duapuluhan wanita.

Sementara budak wanita yang dimiliki oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ada dua, Mariyah binti Syam’un Al Qibthiyyah atau Ummu Ibrahim (Ibrahim putra Rasulullah) yang dihadiahkan oleh Muqauqas, penguasa Iskandariyah dan Mesir kepada beliau bersama saudaranya, Syirin, lalu seorang lelaki yang sudah dikebiri bernama Mabuur serta seekor bighal bernama Duldul. Beliau memberikan Syirin kepada Hasan bin Tsabit, yang kemudian melahirkan Abdurrahman.

Mariah wafat pada bulan Muharram tahun 16 Hijriyyah. Kala itu Umar bin Khattab mengumpulkan kaum muslimin untuk menyalatkan jenazahnya. Beliau juga menyalatinya dan menguburkannya di Al Baqi’. Semoga Allah meridhainya.

Adapun budak wanita beliau yang kedua adalah Raihanah binti Amru. Ada yang meriwayatkan binti Zaid. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memilihnya dari para tawanan Bani Quraizhah dan tetap menjadikannya sebagai budak wanita beliau. Bahkan ada riwayat menyebutkan bahwa beliau menikahinya. Namun ada yang menyebutkan beliau hanya menjadikannya sebagai budak wanita saja, baru kemudian beliau membebaskannya hingga ia kembali kepada keluarganya.


Sebagian kalangan ulama mutaakhirin menyebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pernah mengambil 2 orang budak wanita lainnya. Wallahu A’lam.

Oleh : Ibnu Katsir
bersambung in sya Allah .....


Sumber : Pustaka AtTibyan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar