Wanita
pertama yang dinikahi oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah
Khadijah binti Khuwailid RA. Ia adalah wanita yang meneguhkan hati beliau saat
diangkat sebagai rasul. Ia juga wanita yang pertama kali beriman kepada beliau,
menurut pendapat yang shahih. Ada juga pendapat yang pertama kali beriman
adalah Abu Bakar, namun pendapat ini ganjil. Selama Khadijah masih hidup,
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah menikah dengan wanita
lain, karena kemuliaan dan kehormatannya di sisi beliau.
Ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama, siapa yang lebih utama, Khadijah atau
Aisyah? Kebanyakan ulama mengunggulkan pendapat bahwa Khadijah lebih utama
(Bukhari: 3815, Muslim: 3430). Dan Khadijah wafat sebelum nabi berhijrah.
Kemudian
beliau menikahi Saudah binti Zam’ah Al Qurasyiyyah Al Amiriyyah setelah
kematian Khadijah di Mekkah dan sempat tinggal serumah di kota tersebut
(sebelum hijrah).
Saat Saudah
sudah lanjut usianya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ingin
menceraikannya. Namun Saudah mengajak beliau berdamai dengan memberikan hari
gilirannya kepada Aisyah (Abu Dawud: 2135, Ahmad VI: 117, 466)
Ada riwayat
bahwa Saudah yang menyampaikan itu kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam, lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan giliran
tersebut kepada Aisyah. Berkaitan dengan persoalannya, Allah menurunkan
firman-Nya:
“Dan jika
seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka
tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)…” (AnNisa: 128)
Ia meninggal
dunia di akhir-akhir masa kekhalifahan Amirul Mukminin, Umar bin Khattab RA.
Ada riwayat menyebutkan bahwa beliau sudah menikahi Aisyah sebelum menikahi
Saudah. Akan tetapi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam baru berhubungan
intim dengan Aisyah pada bulan Syawwal tahun kedua Hijriyyah. Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam belum pernah menikahi perawan selain Aisyah. Dan
belum pernah turun wahyu saat beliau berada dalam satu selimut dengan seorang
dari istri-istri beliau, melainkan dengan Aisyah (Bukhari: 3775).
Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam juga tidak pernah mencintai wanita lain seperti
cintanya kepada Aisyah (Bukhari: 2662, Muslim: 2384). Bahkan Aisyah memiliki
banyak pengaruh dan keistimewaan yang disebutkan dalam Al Qur’an dan Hadits.
Di kalangan
umat Islam ini, tidak ada seorang wanitapun yang mencapai kapasitas ilmu
seperti Aisyah. Aisyah wafat pada tahun 57 atau 58 Hijriyyah.
Kemudian
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam juga menikahi Hafshah binti Umar bin Al
Khattab RA pada tahun ketiga Hijriyyah. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
pernah menceraikan Hafshah (Abu Dawud: 2283, AnNasaa-i: 3562, Ibnu Majah: 2016)
Namun kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam rujuk kepadanya. Hafshah
wafat pada tahun ke 41 Hijriyyah. Ada juga riwayat yang menyebutkan 50
Hijriyyah, bahkan ada yang menyebutkan 45 Hijriyyah.
Kemudian
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahi Ummu Salamah, namanya adalah
Hindun binti Abi Umayyah. Abu Umayyah sendiri namanya adalah Hudzaifah. Ada
juga yang menyebutkan Sahl bin Al Mughirah bin Abdullah bin ‘Umar bin Makhzum
Al Qurasyiyyah. Pernikahan itu berlangsung setelah wafatnya suami Ummu Salamah,
yakni Abu Salamah, Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal bin Abdullah bin Amru bin
Makhzum, sepulang dari perang Badar.
Selesai
iddahnya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melamarnya. Konsekuensinya,
bahwa pernikahan itu terjadi pada awal tahun ketiga Hijriyyah. Yang menjadi
wali pada pernikahannya adalah anaknya, Umar, sebagaimana diriwayatkan oleh
AnNasaa-i: 3254 & Ahmad VI: 317, melalui jalur riwayat Hammad bin Salamah
dari Tsabit Al Bunaani, dari Ibnu Umar bin Abi Salamah, dari ayahnya, dan Ummu
Salamah.
Penulis
telah merangkum sebagian diantaranya. Penulis menjelaskan bahwa Umar yang
dimaksudkan dalam hadits ini adalah Umar bin Al Khattab. Karena Umar lah yang
melamarkan Ummu Salamah untuk Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Al Waqidi
dan ahli sejarah lainnya menyebutkan bahwa yang menjadi wali nikah Ummu Salamah
adalah anaknya sendiri, Salamah. Dan itulah pendapat yang benar, in sya Allah
Ta’ala.
Ada juga
riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahi Ummu
Salamah tanpa wali. Wallahu A’lam.
Al Waqidi
menyebutkan bahwa Ummu Salamah wafat tahun 69 Hijriyyah. Yang lain mengatakan
beliau wafat pada masa khilafah Yazid bin Mu’awiyyah tahun 62 H.
Setelah itu
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahi Zainab binti Jahsy pada tahun
kelima Hijriyyah bulan Dzulqaidah. Ada riwayat yang menyebutkan, justru di
tahun ketiga, namun riwayat tersebut lemah.
Pada pagi
hari pernikahan beliau dengan Zainab, turunlah ayat hijab, sebagaimana
dikeluarkan dalam Shahih Al Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik. Dan
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika itu langsung menghijabinya.
Sementara umur Anas saat Rasulullah tiba di kota Madinah adalah 10 tahun. Berarti,
pada saat itu umur Anas adalah 15 tahun. Wallahu A’lam.
Wali Zainab
kala itu adalah Allah ‘Azza wa Jalla, bukan dari kalangan manusia. Allah
berfirman:
“Maka
tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya),
Kami kawinkan kamu dengan dia…” (Al Ahzaab: 37)
Diriwayatkan
oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya (7420, 7421) dengan sanad tsulatsi
(hanya tiga rantai perawi), bahwa Zainab pernah membanggakan dirinya di hadapan
seluruh istri Nabi yang lain: “Kalian dinikahkan dengan Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam oleh wali-wali kalian, sementara aku dinikahkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang Ada di langit.”
Ia adalah
istri Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang pertama kali wafat (Muslim: 2452)
Al Waqidi
menyatakan: “Ia wafat pada tahun 20 H. Ia dishalatkan oleh Umar bin Khattab RA.
Kemudian
beliau menikahi Juwairiyyah binti Al Harits bin Abi Dhiraar Al Mushthaliqiyyah.
Yakni saat beliau memerangi kaum Juwairiyyah pada tahun ke 6 H di sumber air
yang dikenal bernama Muraisyi. Juwairiyyah menjadi bagian Tsabit bin Qais bin
Syammas yang lalu membebaskannya dengan pembayaran cicilan. Datanglah ia kepada
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta tolong agar beliau membayarkan
cicilan pembebasannya. Akhirnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
membelinya dan membebaskannya, baru kemudian beliau menikahinya (Abu Dawud:
3931)
Ada riwayat
menyebutkan bahwa Juwairiyyah meninggal dunia pada tahun 50 H. Al Waqidi
menegaskan: “Tahun 56 Hijriyyah.”
Kemudian
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahi Shafiyyah binti Huyayy bin
Akhtab Al Israiliyyah Al Haruiniyyah An Nadhiriyyah kemudian Al Khaibariyyah.
Semoga Allah meridhainya. Yakni bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
memilihnya dari sekian harta rampasan Khaibar yang ada. Itu terjadi di
awal-awal tahun 7 Hijriyyah. Beliau membebaskannya, dan pembebasan itu
dijadikan oleh beliau sebagai maharnya.
Setelah ia
menjadi halal, di perjalanan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
berhubungan suami istri dengan Shafiyyah dan mengenakan hijab kepadanya. Dengan
demikian dapat dimaklumi bahwa ia sudah menjadi Ummahatul Mukminin (Bukhari:
5169, Muslim: 1365)
Al Waqidi
menyatakan: “Ia wafat tahun 50 H.” Sementara ulama lain menyatakan tahun 36 H.
Wallahu A’lam.
Pada tahun
itu juga –dalam riwayat lain pada tahun sebelumnya yakni tahun keenam- beliau
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahi Ummu Habibah. Namanya adalah Ramlah binti
Abu Sufyan Shakr bin Harb bin Umayyah bin Abdusy Syams Al Umawiyyah.
Yang
melamarkan untuk beliau adalah Amru bin Umayyah AdhDhamri. Saat itu Ummu
Habibah berada di Habasyah. Yakni saat ia ditinggal wafat oleh suaminya,
Ubaidillah bin Jahsy. Yang menjadi walinya adalah Khalid bin Said bin Al Ash.
Ada juga yang menyatakan: Raja Najasyi. Yang benar adalah riwayat pertama. Akan
tetapi yang memberikan mahar kepada Ummu Habibah untuk Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam adalah raja AnNajasyi sebanyak 400 dinar. Raja AnNajasyi
juga yang menyiapkan keberangkatan Ummu Habibah dan mengirimkannya kepada
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam (Abu Dawud: 2107, 2108, AnNasaa-i:
3350, Ahmad VI: 427)
Adapun yang
diriwayatkan oleh Muslim dalam shahih-nya (2501) dari hadits Ikrimah bin Ammar
Al Yamani, dari Abu Zumail Simaak bin Al Walid, dari Ibnu Abbas diriwayatkan
bahwa Abu Sufyan saat masuk Islam, dan berbicara dengan Rasulullah ia berkata:
“Saya memiliki putri tercantik di tanah Arab, Ummu Habibah binti Abu Sufyan.
Kunikahkan engkau dengan putriku itu..”
Riwayat ini
dianggap aneh sekali dari Imam Muslim rahimahullah, bagaimana beliau sampai
tidak menyadarinya? Karena Abu Sufyan baru masuk Islam pada malam penaklukan
kota Mekkah, yakni setelah 1 tahun lebih Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam menikahi Ummu Habibah. Dan itu adalah hal yang tidak diperdebatkan di
kalangan ulama. Riwayat muslim ini dianggap sulit dimengerti oleh banyak ulama.
Ibnu Hazm
beranggapan bahwa riwayat itu adalah palsu, beliau juga menganggap lemah
Ikrimah bin Ammar. Namun tak seorangpun ulama dahulu dan sekarang yang
beranggapan demikian.
Adapun Muhammad
bin Thahir Al Maqdisi menyatakan: Maksudnya adalah bahwa Abu Sufyan hendak
memperbaharui aqad, agar jangan sampai Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
menikahinya tanpa seijinnya, karena ia merasa dongkol. Atau Abu Sufyan
beranggapan bahwa dengan keislamannya, maka pernikahan putrinya itu batal.
Pendapat demikian juga diamini oleh Abu Amru bin AshShalah dan Abu Zakariyya An
Nawawi dalam Syarh Muslim (16:63)
Dan itu amat
jauh sekali pengertiannya. Kalau memang demikian, tentu Abu Sufyan tidak akan mengatakan:
“Saya memiliki putri tercantik di tanah Arab..” Karena Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam sudah melihatnya dari semenjak satu tahun sebelumnya atau
lebih.
Anggapan
bahwa pernikahan putrinya tersebut batal karena keislaman Abu Sufyan, juga amat
jauh sekali.
Yang benar
dalam hal ini, Abu Sufyan saat melihat bahwa dengan menjadikan Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai menantunya ia akan mendapatkan kehormatan,
ia ingin menikahkan beliau dengan putrinya yang lain, yaitu ‘Azzah. Ia meminta
tolong kepada saudari dari ‘Azzah, yaitu Ummu Habibah, sebagaimana dikeluarkan
dalam Shahih Bukhari & Muslim (5101), Muslim (1449), dari Ummu Habibah
bahwa ia berkata; “Wahai Rasulullah! Nikahilah saudariku, putri Abu Sufyan.”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya: “Apakah engkau betul-betul
menyukainya?” Ummu Habibah menjawab: “Ya.”
Sementara
dalam Shahih Muslim diriwayatkan bahwa Ummu Habibah berkata: “Wahai Rasulullah!
Nikahilah saudariku, ‘Azzah binti Abu Sufyan..”
Dengan
demikian, maka hadits sebelumnya adalah shahih. Berarti memang terjadi
kesalahpahaman dari sebagian perawi saat Abu Sufyan mengatakan: “Saya memiliki
putri tercantik di tanah Arab..” bahwa putrinya tersebut adalah Ummu Habibah,
padahal sebenarnya adalah ‘Azzah. Perawi tersebut tidak dapat membedakannya.
Atau mungkin juga salah satu perawi menyebutkan: “Yakni putrinya..” dan perawi
lain yang mendengarnya menganggapnya Ummu Habibah, karena ia tidak mengetahui
ada putri lain dari Abu Sufyan.
Kekeliruan
seperti ini memiliki banyak contoh lain. Penulis sudah merangkumnya dalam
sebuah tulisan khusus berkaitan dengan hadits ini. Segala puji bagi Allah, dan
segala karunia hanya milik Nya.
Ummu Habibah
wafat pada tahun 44 H, berdasarkan riwayat dari Abu Ubaid. Sementara Abu Bakar bin
Abi Khaitsamah menyatakan: “Tahun 59 H, satu tahun sebelum kematian saudaranya,
Muawiyyah.”
Dan pada
tahun yang sama di bulan Dzulqaidah, beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
menikahi Maimunah binti Al Harits Al Hilaliyyah.
Para ulama
berbeda pendapat apakah saat itu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah
berihram atau belum. Dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih mereka
(Bukhari: 5114, Muslim: 1409) dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam kala itu sedang berihram.
Ada yang
berpendapat bahwa itu termasuk kekhususan bagi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam, berdasarkan riwayat Muslim dari Ustman, bahwa Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Orang
yang berihram, tidak boleh menikah, tidak boleh dinikahi, dan tidak boleh
melamar.” (Muslim: 1410)
Abu Hanifah
lebih bersandar pada pendapat pertama, dan menafsirkan hadits Ustman bahwa
larangan itu menunjukkan makruh saja.
Bahkan ada
pendapat yang menyatakan bahwa hukumnya adalah mubah, sebagaimana diriwayatkan
oleh Muslim dari Maimunah, ia menceritakan bahwasanya Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam menikahinya saat sudah bertahalul, lalu berhubungan intim
dengannya juga setelah bertahalul (Muslim: 1411)
Mayoritas
ulama lebih mendahulukan hadits ini daripada pendapat Ibnu Abbas, karena
Maimunah adalah tokoh yang mengisahkan kisahnya sendiri, sehingga tentunya ia
lebih mengetahui.
Demikian
juga Abu Rafi’ memberitahukan hal yang sama sebagaimana yang diriwayatkan oleh
AtTirmidzi 841 dan Ahmad VI: 392. Abu Rafi’ adalah perantara yang menghubungkan
antara Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Maimunah.
Hadits Ibnu
Abbas terdahulu telah dibantah dengan berbagai argumentasi yang bukan disini
kesempatan untuk mengulasnya.
Maimunah
meninggal dunia di Saraf, dimana Rasulullah pertama kali berhubungan badan
dengannya sepulang beliau dari Umratul Qadhaa. Ia wafat tahun 51 H. ada
pendapat, 53 H dan juga 66 H. Ia dishalatkan oleh kemenakannya, Abdullah bin
Abbas RA.
Kesembilan
wanita itu adalah istri-istri Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah
Khadijah sebagaimana tercantum dalam Shahih Bukhari & Muslim bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat sebelum mereka semua (Bukhari:
284, Muslim: 1462)
Dalam sebuah
riwayat dalam AshShahih (Bukhari: 268) disebutkan bahwa beliau wafat tahun 11
H. namun riwayat pertama lebih shahih.
Qatadah bin
Di’amah meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah menikahi 15 orang wanita. Beliau
sempat menggauli 13 diantaranya, sempat hidup dengan 11 orang diantaranya
berbarengan, dan kala wafat meninggalkan 9 orang istri.
Sementara Al
Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Wahid Al Maqdisi meriwayatkan yang
senada dengan itu dari Anas dalam bukunya Al Mukhtaarah, dan itu hal
yang cukup populer.
Penulis
sendiri menyaksikan banyak dari kalangan Imam mutaakhirin dari kalangan
Malikiyyah atau yang lainnya dalam kitab AnNikaah menyebutkan sejumlah
istri yang sudah pernah dicampuri Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
yang belum, totalnya sekitar duapuluhan wanita.
Sementara
budak wanita yang dimiliki oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ada
dua, Mariyah binti Syam’un Al Qibthiyyah atau Ummu Ibrahim (Ibrahim putra
Rasulullah) yang dihadiahkan oleh Muqauqas, penguasa Iskandariyah dan Mesir
kepada beliau bersama saudaranya, Syirin, lalu seorang lelaki yang sudah
dikebiri bernama Mabuur serta seekor bighal bernama Duldul. Beliau memberikan
Syirin kepada Hasan bin Tsabit, yang kemudian melahirkan Abdurrahman.
Mariah wafat
pada bulan Muharram tahun 16 Hijriyyah. Kala itu Umar bin Khattab mengumpulkan
kaum muslimin untuk menyalatkan jenazahnya. Beliau juga menyalatinya dan
menguburkannya di Al Baqi’. Semoga Allah meridhainya.
Adapun budak
wanita beliau yang kedua adalah Raihanah binti Amru. Ada yang meriwayatkan
binti Zaid. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memilihnya dari para
tawanan Bani Quraizhah dan tetap menjadikannya sebagai budak wanita beliau.
Bahkan ada riwayat menyebutkan bahwa beliau menikahinya. Namun ada yang
menyebutkan beliau hanya menjadikannya sebagai budak wanita saja, baru kemudian
beliau membebaskannya hingga ia kembali kepada keluarganya.
Sebagian kalangan ulama mutaakhirin menyebutkan
bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pernah mengambil 2 orang
budak wanita lainnya. Wallahu A’lam.
Oleh : Ibnu Katsir
bersambung in sya Allah .....
Sumber : Pustaka AtTibyan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar