Senin, 07 Desember 2015

(34/48) Perang Tabuk | Sejarah Nabi Muhammad



Saat Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan firmanNya kepada RasulNya:

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada meraka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk..” (AtTaubah: 29)


Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menganjurkan para penduduk Madinah dan kaum badui di sekitar Madinah untuk berjihad. Beliau memberitahukan rencana berperang melawan Romawi. Itu akan dilaksanakan pada bulan Rajab pada tahun kesembilan. Biasanya apabila menginginkan perang, beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu memberitahukannya dengan bahasa kiyasan, tapi pada perang kali ini tidak. Beliau secara terus terang mengatakannya agar kaum muslimin bersiap-siap, karena musuh yang akan mereka hadapi amat besar dan kuat. Yakni saat musim buah tiba, dan itu terjadi di masa paceklik. Kaum muslimin segera bersiap-siap untuk menghadapi peperangan tersebut (Bukhari: 4418, Muslim: 2769).

Ustman bin Affan menginfakkan harta yang amat banyak untuk para pasukan, yang disebut dengan Jaisyul Usrah (Pasukan penuh penderitaan). Ada riwayat menyebutkan, jumlah uang yang beliau infakkan adalah 1.000 dinar. Ada juga yang menyebutkan, beliau membawa 1.000 ekor unta dan 100 kuda, dipersiapkan sedemikian rupa sehingga tidak ada yang hilang satu ikatan unta atau kuda sekalipun. Semoga Allah meridhainya (Ahmad V: 63, AtTirmidzi: 3702, Bukhari: 2778)

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam segera berangkat dengan membawa 30.000 personil. Di Madinah beliau mewakilkan Muhammad bin Maslamah. Ada riwayat menyebutkan: Siba’ bin Urfuthah. Ada juga yang menyebutkan Ali bin Abi Thalib . Yang benar, bahwa Ali memang dijadikan wakil beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menjaga kaum istri dan wanita-wanita perawan, oleh sebab kaum munafik sering mengganggunya. Mereka berkata: “Ia ditinggalkan untuk mengurus wanita dan anak-anak perempuan saja.” Ali segera menyusul Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mengadukan ucapan tersebut. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidakkah engkau rela bila engkau di sisiku seperti halnya Harun di sisi Musa? Hanya saja, tidak ada nabi lagi sesudahku.” (Bukhari: 4416, Muslim: 2404)

Bersama beliau, keluar Abdullah bin Ubay, gembong kaum munafik. Namun di tengah perjalanan, ia pulang.

Yang tidak ikut bersama beliau adalah kaum wanita dan anak-anak, juga kaum lelaki yang memiliki udzur di hadapan Allah karena tidak memiliki kendaraan misalnya, atau tidak memiliki perbekalan yang cukup. Di antara mereka terdapat beberapa Sahabat yang menangis karena ketidakmampuannya. Jumlah mereka ada tujuh orang yaitu Salim bin Umair, Ulbah bin Zaid, Abu Laila Abdurrahman bin Kaab, Amru bin Al Hummam, Abdullah bin Al Mughaffal Al Muzzanni, Harami bin Abdullah, Irbadh bin Sariyah Al Fazari Radhiyallahu ‘Anhuma.

Sementara kaum munafik juga tidak ikut serta karena kekufuran dan kebandelan mereka. Jumlah mereka sekitar 80 orang.

Ada juga yang berbuat maksiat dengan sengaja tidak ikut perang, di antaranya adalah Murarah bin ArRabi’, Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayah. Kemudian Allah memberi ampunan kepada mereka, 50 malam setelah kembalinya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam (Bukhari: 4418, Muslim: 2769)

Lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berangkat. Dalam perjalanan, beliau melewati Al Hijr (kaum yang pernah dilaknat oleh Allah/ Tsamud). Beliau menegaskan bahwa mereka hanya boleh masuk ke dalamnya dalam keadaan menangis (Bukhari: 4419, Muslim: 2980). Mereka juga dilarang untuk meminum air di sumur AnNaaqah (tempat penyembelihan unta Nabi Shalih). Semua makanan yang diadon dengan air sumur tersebut, hendaknya diberikan kepada unta mereka (Bukhari: 3379, Muslim: 2981). Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan tempat tersebut dengan segera.
Peninggalan kaum Tsamud di Al Hijr

Peninggalan kaum Tsamud di Al Hijr 2

Sampailah beliau di Tabuk. Disitu terdapat sumber air yang amat sedikit airnya. Namun dengan berkah dari beliau, air itu menjadi banyak. Di samping itu, banyak lagi keberkahan do’a beliau yang dapat mereka saksikan pada peperangan itu, seperti mengubah makanan menjadi banyak yang semula pasukan tersebut hanya memiliki kira-kira sebanyak satu ekor kambing berukuran sedang, lalu beliau berdo’a kepada Allah sehingga mereka semuanya makan sepuasnya dan masih bisa mengisi baskom yang dibawa pasukan tersebut (Bukhari: 2982, Muslim: 1927).

Demikian juga saat mereka merasa haus, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berdo’a kepada Allah, maka datanglah awan dan turunlah hujan, sehingga mereka bisa minum hingga puas, bahkan masih bisa menampungnya sebagai bekal. Ternyata hujan tersebut hanya turun kepada pasukan itu saja, tidak lebih.

Dan banyak lagi tanda-tanda kekuasaan Allah lainnya yang mereka butuhkan pada saat itu.

Saat mereka sampai di tempat peperangan, mereka tidak mendapatkan musuh. Beliau berpandangan bahwa masuknya mereka ke negeri Syam pada tahun ini amatlah menyulitkan, sehingga beliau berniat pulang. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengadakan perjanjian damai dengan Yuhannah bin Rubah, penguasa Ailah. Beliau juga mengutus Khalid ke Ukaidir Dumah. Nabi berdamai dengannya dan menyuruhnya kembali. Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pulang.

Sepulang Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Tabuk, beliau memerintahkan agar masjid Adh Dhiraar diruntuhkan. Masjid itu berasal dari kaum Khidzam bin Khalid. Masjid tersebut dihancurkan atas perintah dari Rasulullah, dilakukan oleh Malik bin Dukhsyum, saudara Bani Salim, salah seorang tokoh Badar. Orang lain yang ikut bersamanya masih diperdebatkan. Masjid itulah yang dilarang oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk dipakai selama-lamanya.

Beliau pulang dari peperangan tersebut pada bulan Ramadhan, tahun kesembilan. Pada saat itulah Allah menurunkan sebagian surat AtTaubah. Dalam surat itu Allah ‘Azza wa Jalla mengecam orang yang tidak ikut dalam peperangan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka yang demikian itu suatu amal shalih. Sesunggunya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, (dan mereka tidak menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal shalih pula), karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Kemudian Allah berfirman:

Tidak sepatutnya bagi orang-orang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (AtTaubah: 120-122)


Dengan demikian, menjadi jelas bagi kita persoalan yang selama ini diperdebatkan, yakni bahwa golongan yang pergi berperang itulah yang mempelajari agama karena mereka menemani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam perang ini. Kalau mereka pulang, mereka bisa memperingatkan kaumnya agar mereka dapat menjaga dirinya dalam ajaran-ajaran agama yang baru diajarkan sepeninggal mereka. Wallahu Ta’ala A’lam.

Oleh : Ibnu Katsir
bersambung in sya Allah .....


Sumber : Pustaka AtTibyan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar