Saat Allah
‘Azza wa Jalla menurunkan firmanNya kepada RasulNya:
“Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian
dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan
tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang
diberikan Al Kitab kepada meraka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka dalam keadaan tunduk..” (AtTaubah: 29)
Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menganjurkan para penduduk Madinah dan kaum badui
di sekitar Madinah untuk berjihad. Beliau memberitahukan rencana berperang
melawan Romawi. Itu akan dilaksanakan pada bulan Rajab pada tahun kesembilan.
Biasanya apabila menginginkan perang, beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
selalu memberitahukannya dengan bahasa kiyasan, tapi pada perang kali ini
tidak. Beliau secara terus terang mengatakannya agar kaum muslimin
bersiap-siap, karena musuh yang akan mereka hadapi amat besar dan kuat. Yakni
saat musim buah tiba, dan itu terjadi di masa paceklik. Kaum muslimin segera
bersiap-siap untuk menghadapi peperangan tersebut (Bukhari: 4418, Muslim:
2769).
Ustman bin
Affan menginfakkan harta yang amat banyak untuk para pasukan, yang disebut
dengan Jaisyul Usrah (Pasukan penuh penderitaan). Ada riwayat
menyebutkan, jumlah uang yang beliau infakkan adalah 1.000 dinar. Ada juga yang
menyebutkan, beliau membawa 1.000 ekor unta dan 100 kuda, dipersiapkan
sedemikian rupa sehingga tidak ada yang hilang satu ikatan unta atau kuda
sekalipun. Semoga Allah meridhainya (Ahmad V: 63, AtTirmidzi: 3702, Bukhari:
2778)
Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam segera berangkat dengan membawa 30.000 personil.
Di Madinah beliau mewakilkan Muhammad bin Maslamah. Ada riwayat menyebutkan:
Siba’ bin Urfuthah. Ada juga yang menyebutkan Ali bin Abi Thalib
. Yang benar, bahwa Ali memang dijadikan wakil beliau
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menjaga kaum istri dan wanita-wanita
perawan, oleh sebab kaum munafik sering mengganggunya. Mereka berkata: “Ia
ditinggalkan untuk mengurus wanita dan anak-anak perempuan saja.” Ali segera
menyusul Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mengadukan ucapan tersebut.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidakkah engkau rela bila
engkau di sisiku seperti halnya Harun di sisi Musa? Hanya saja, tidak ada nabi
lagi sesudahku.” (Bukhari: 4416, Muslim: 2404)
Bersama
beliau, keluar Abdullah bin Ubay, gembong kaum munafik. Namun di tengah
perjalanan, ia pulang.
Yang tidak
ikut bersama beliau adalah kaum wanita dan anak-anak, juga kaum lelaki yang
memiliki udzur di hadapan Allah karena tidak memiliki kendaraan misalnya, atau
tidak memiliki perbekalan yang cukup. Di antara mereka terdapat beberapa
Sahabat yang menangis karena ketidakmampuannya. Jumlah mereka ada tujuh orang
yaitu Salim bin Umair, Ulbah bin Zaid, Abu Laila Abdurrahman bin Kaab, Amru bin
Al Hummam, Abdullah bin Al Mughaffal Al Muzzanni, Harami bin Abdullah, Irbadh
bin Sariyah Al Fazari Radhiyallahu ‘Anhuma.
Sementara
kaum munafik juga tidak ikut serta karena kekufuran dan kebandelan mereka.
Jumlah mereka sekitar 80 orang.
Ada juga yang berbuat maksiat dengan sengaja
tidak ikut perang, di antaranya adalah Murarah bin ArRabi’, Ka’ab bin Malik,
Hilal bin Umayah. Kemudian Allah memberi ampunan kepada mereka, 50 malam
setelah kembalinya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam (Bukhari: 4418,
Muslim: 2769)
Lalu
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berangkat. Dalam perjalanan, beliau
melewati Al Hijr (kaum yang pernah dilaknat oleh Allah/ Tsamud). Beliau
menegaskan bahwa mereka hanya boleh masuk ke dalamnya dalam keadaan menangis
(Bukhari: 4419, Muslim: 2980). Mereka juga dilarang untuk meminum air di sumur AnNaaqah
(tempat penyembelihan unta Nabi Shalih). Semua makanan yang diadon dengan air
sumur tersebut, hendaknya diberikan kepada unta mereka (Bukhari: 3379, Muslim:
2981). Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan tempat tersebut dengan
segera.
![]() |
Peninggalan kaum Tsamud di Al Hijr |
![]() |
Peninggalan kaum Tsamud di Al Hijr 2 |
Sampailah
beliau di Tabuk. Disitu terdapat sumber air yang amat sedikit airnya. Namun
dengan berkah dari beliau, air itu menjadi banyak. Di samping itu, banyak lagi
keberkahan do’a beliau yang dapat mereka saksikan pada peperangan itu, seperti
mengubah makanan menjadi banyak yang semula pasukan tersebut hanya memiliki
kira-kira sebanyak satu ekor kambing berukuran sedang, lalu beliau berdo’a
kepada Allah sehingga mereka semuanya makan sepuasnya dan masih bisa mengisi
baskom yang dibawa pasukan tersebut (Bukhari: 2982, Muslim: 1927).
Demikian
juga saat mereka merasa haus, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berdo’a
kepada Allah, maka datanglah awan dan turunlah hujan, sehingga mereka bisa
minum hingga puas, bahkan masih bisa menampungnya sebagai bekal. Ternyata hujan
tersebut hanya turun kepada pasukan itu saja, tidak lebih.
Dan banyak
lagi tanda-tanda kekuasaan Allah lainnya yang mereka butuhkan pada saat itu.
Saat mereka
sampai di tempat peperangan, mereka tidak mendapatkan musuh. Beliau
berpandangan bahwa masuknya mereka ke negeri Syam pada tahun ini amatlah
menyulitkan, sehingga beliau berniat pulang. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam mengadakan perjanjian damai dengan Yuhannah bin Rubah, penguasa Ailah.
Beliau juga mengutus Khalid ke Ukaidir Dumah. Nabi berdamai dengannya dan
menyuruhnya kembali. Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pulang.
Sepulang
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Tabuk, beliau memerintahkan agar
masjid Adh Dhiraar diruntuhkan. Masjid itu berasal dari kaum Khidzam bin
Khalid. Masjid tersebut dihancurkan atas perintah dari Rasulullah, dilakukan
oleh Malik bin Dukhsyum, saudara Bani Salim, salah seorang tokoh Badar. Orang
lain yang ikut bersamanya masih diperdebatkan. Masjid itulah yang dilarang oleh
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk dipakai selama-lamanya.
Beliau
pulang dari peperangan tersebut pada bulan Ramadhan, tahun kesembilan. Pada
saat itulah Allah menurunkan sebagian surat AtTaubah. Dalam surat itu Allah
‘Azza wa Jalla mengecam orang yang tidak ikut dalam peperangan. Allah ‘Azza wa
Jalla berfirman:
“Tidaklah
sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Badwi yang berdiam di sekitar
mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul.
Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan
kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang
membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana
kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka yang demikian itu suatu amal
shalih. Sesunggunya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat
baik, (dan mereka tidak menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula)
yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka
(amal shalih pula), karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan
balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Kemudian
Allah berfirman:
“Tidak
sepatutnya bagi orang-orang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.” (AtTaubah: 120-122)
Dengan demikian, menjadi jelas bagi kita
persoalan yang selama ini diperdebatkan, yakni bahwa golongan yang pergi
berperang itulah yang mempelajari agama karena mereka menemani Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam perang ini. Kalau mereka pulang, mereka bisa
memperingatkan kaumnya agar mereka dapat menjaga dirinya dalam ajaran-ajaran
agama yang baru diajarkan sepeninggal mereka. Wallahu Ta’ala A’lam.
Oleh : Ibnu Katsir
bersambung in sya Allah .....
Sumber : Pustaka AtTibyan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar